Connect with us

Tokoh RI

Anies Pegang Buku ‘Big Debt Crisis’, Netizen: Sindiran Halus dengan Cara yang Elegan!

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Anies Baswedan pamer dirinya sedang baca buku tentang krisis hutang besar, buku itu berjudul ‘BIG DEBT CRISES’.

Momen dirinya membaca buku itu terlihat ketika ia sedang di pinggir pantai, fotonya ia unggah melalui akun sosial media resminya.

Dalam foto itu Bakal Calon Presiden dari Koalisi Perubahan itu terlihat tengah bersantai, membaca buku menghadap ke arah matahari yang mulai terbenam.

Selain mengunggah foto itu, Anies Baswedan juga menuliskan caption tentang matahari yang terbenam, kegiatan baca bukunya dan tentang hal-hal lain yang bersangkutan.

“Matahari yang terang itu kini mulai meredup terbenam. Teduh, semilir dan tenang untuk membaca dan bersiap,” tulisnya pada Jum’at, (28/4/2023).

“Sebelum esok menyambut hari yang baru dan lebih baik,” tulisnya melanjutkan.

Selain itu, Anies Baswedan mengucapkan selamat kembali bekerja dan berkarya bagi siapapun yang telah mengakhiri masa liburan.

“Bagi yang telah mengakhiri masa liburan, selamat bersiap kembali bekerja dan berkarya esok hari,” tulisnya menandaskan.

Postingan Anies mengundang banyak perhatian, disukai oleh 116 ribu lebih pengguna instagram, dan dibanjiri 3 ribu komentar lebih.

Banyak warganet yang menduga bahwa itu merupakan sindiran bagi pemerintah yang dinilai terlalu banyak hutang.

“Bukunya krisis hutang gede ya gaes, udah dipelajarin itu sama beliau sebelum mengambil alih tampuk pemerintahan,” tulis akun @fitriyenim dalam kolom komentar.

“Selalu elegan sindirannya, menyampaikan tanpa menyinggung buzzer dan majikan. Sebab buzzer tidak akan membaca buku dan tak paham maksudnya,” tulis @haluskasar menimpal.

“Sekarang pemerintah hutang sudah lebih dari 7500 triliun, kemungkinan sampai tahun depan bisa naik tembus di atas 8500 triliun,” tulis akun @akohar3i menimpal.

“SATIRE,” tulis akun @itsdoktermuda menimpal.

“Alhamdulillah yang dibaca bukan komik shinchan,” tulis akun @taufik.hidayatpts menimpal.

Anies: Jeratan Utang Negara dan Jebakan Kemiskinan

(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

Foto Anies Baswedan sedang membaca buku berjudul “Big Debt Crisis”, by Ray Delio,mendapat perhatian besar berbagai media maupun media sosial. SindoNews, misalnya, melaporkan dalam berita “Anies Unggah Foto Baca Buku Big Debt Crises, Netizen Riuh: Berkelas!”, 26/4/23. Anies memang menunjukkan kaliber kepemimpinannya yang substansial, yakni berpikir pada problem pokok. Orang-orang yang eksistensialis masih berpikir tentang capres Jawa versus capres Islam, GMNI vs HMI, didukung Jokowi vs. tidak, dan lain sebagainya. Orang-orang sejenis ini hanya pintar menampilkan baliho-baliho wajah imut yang disemir saja. Dengan beredarnya sosok Anies plus buku tersebut, maka perdebatan ke depan diajak Anies dalam level gagasan besar, yang perlu dijawab kepemimpinan ke depan demi nasib bangsa.

Buku tersebut adalah buku penting tentang utang dan membangun negara. Berbagai elit dunia telah membaca buku ini. Antara lain telah dibaca dan direkomendasikan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, Ben Bernanke (“RAY DALIO’S excellent study provides an innovative way of thinking about debt crises and the policy”), mantan Menteri keuangan Amerika Larry Summers (“RAY DALIO’S BOOK is must reading for anyone who aspires to prevent for or
manage through the next financial crisis”), Hank Paulson ( “a terrific piece of work from one of the world’s top investors who has devoted his live to understanding markets and demonstrated that understanding by navigating the 2008 financial crisis well) dan berbagai elit keuangan dunia lainnya. Terbaru, buku ini juga di review dalam WallstreetJournal, awal tahun ini.

Mengapa kita harus masuk kepada pertarungan gagasan besar? Pertama, generasi pemilih pada tahun 2024 mayoritas adalah generasi millenial dan generasi Z, yang berkisar 60% voters. Satu dekade ke depan mereka akan mengendalikan Indonesia. Sehingga mereka butuh kepastian regenerasi yang keberlanjutan. Mereka tidak ingin sebagai penonton pasif dari sebuah rezim yang dikelola tanpa ide dan gagasan besar. Generasi millenial ini hidup dalam era digital. Masyarakat millenial ini, semangatnya, hidup dalam tingkat independensi yang tinggi, menghormati demokrasi, dan anti korupsi. Kepemimpinan ke depan harus menjamin bahwa negara mampu memfasilitasi mereka.

Terkait dengan utang yang dilakukan oleh rezim yang sedang berlangsung, tentunya harus dipastikan bersifat produktif, berkeadilan, menumbuhkan solidaritas sosial dan untuk “sustainable development”. Sebab, mereka menyadari setiap sen dollar utang yang tercipta akan menjadi beban bagi generasi mereka di masa mendatang.

Kedua, paska pandemik dan dalam situasi global kini yang penuh ketidakpastian, baik dagang maupun adu kekuatan militer, sebuah negara dipastikan akan terperangkap pada ketertinggalan dan keterbelakangan, jika tidak mampu menghadapi tantangan global tersebut. Berbagai negara mulai mengalami kekacauan, seperti Libanon dan Sudan, Ukraina, Sri Lanka, Pakistan, negara-negara eropa yang krisis pada tahun 2008/9, semisal Yunani, Potugal, Italia, serta berbagai negara lainnya di Afrika. Kenapa, karena hancurnya perekonomian global dan berbagai negara paska pandemic mengalami kesulitan uang, akan terus berlangsung merusak seluruh kekuatan ekonomi negara. Terutama akibat besarnya beban keuangan suatu negara menyelesaikan krisis kesehatan COVID-19 dan restrukturisasi perekonomian mereka. Di sisi lain, tidak gampang mendapatkan bantuan utang dari negara maju maupun lembaga multilateral, seperti IMF dan World Bank.

Ketiga, sejak beberapa tahun sebelum pandemi dan dilanjutkan masa pandemi, berbagai negara telah melakukan berbagai kebijakan semu untuk memanipulasi pertumbuhan dan angka-angka keberhasilan mereka. Akibatnya, sebuah resiko tersembunyi (hidden risk) seringkali tidak terpantau, lalu akan meledak pada masanya. Hidden Risk ini sudah menjadi perhatian utama Bank Dunia saat ini. Terutama ketika “printing money” dijadikan kebijakan tanpa hati-hati diberbagai negara untuk menutupi defisit anggaran selama masa pandemi. Dari $400 Milyar utang Indonesia saat ini, diperkirakan $45 Milyar merupakan utang dengan resiko tinggi. Ini belum memasukkan berapa besar potensi utang beresiko yang tak terlihat itu.

Utang dan Debtomania

Dalam teori pembangunan, utang merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir era Orde Baru, berbagai pimpinan nasional kita mengkritik utang Orde Baru yang sebagian dianggap tidak untuk menguntungkan bangsa kita. Saat itu dikenal istilah “Odious Debt” atau utang haram, yakni utang yang dilakukan untuk kepentingan segelintir elit berkuasa. John Perkins, dalam “Confession of an Economic Hitman”, 2004, menjelaskan bahwa negara-negara besar dan korporasi global mempunyai agenda menjebak negara-negara berkembang dalam perangkap utang melalui berbagai projek-projek infrastruktur dan energi yang ditentukan mereka. Dengan demikian setiap dollar utang yang masuk ke negara berkembang akan menguntungkan negara maju beberapa kali lipat. Menurut Sritua Arief dan Adi Sasono, dalam Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan, angka ini berkisar 1:1 pada awal tahun 70an, lalu naik 1:10 di akhir era Suharto. Artinya, setiap satu dollar uang utang masuk ke Indonesia, akan menghasilkan 10 dollar buat pemberi utang itu.

Pada era kekinian, Ruchir Sharma, dalam “The Rise and Fall of Nations: Forces of Change in a Post-Crisis World,(2016)” menguraikan lebih lanjut bahwa utang piutang yang awalnya dimaknai sebagai kebutuhan, kemudian berkembang menjadi kesenangan yang tidak terkendali, baik dari pengutang maupun penerima utang. Sharma memberi judul “Debtomania” pada hal tersebut. Mania, sebagaimana kita pahami, adalah sikap berlebihan, sebuah nafsu berlebihan. Jadi kekuasan sebuah negara bagi elit-elitnya, bukan lagi melihat utang sebagai keterpaksaan atau pelengkap, melainkan sebagai kenikmatan. Tentu saja tersedia keuntungan, baik nyata maupun tersembunyi, bagi pelaku elit dalam penciptaan utang tersebut.

Pada era setelah Suharto, gerakan rakyat meminta dispensasi untuk menghapus utang-utang Orde Baru yang “Odious Debt” kepada negara donor, sempat membesar. Sayangnya, gerakan itu gagal. Indonesia harus tetap membayar utang kepada negara peminjam maupun perusahaan global.

Utang Jokowi Segunung

Utang Jokowi adalah utang yang dicatat bangsa ini selama rezim Jokowi memimpin. Catatan resmi pemerintah utang negara saat ini mencapai Rp. 7.755 Triliun. Utang tersebut jika ditambahkan utang swasta dan BUMN, menurut Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, akan mencapai belasan ribu triliun. Utang ini, menurut Said Didu dan Rizal Ramli seperti pinjol alias pinjaman online, yakni mengejar pinjaman terus menerus untuk membayar bunga dan pokok pinjaman sebelumnya.

Jika dibandingkan era SBY, Jokowi dikatakan membuat utang Indonesia meningkat 300 persen alias 3 kali lipat. Sementara itu Rizal Ramli, menteri keuangan era Gus Dur, mengatakan bahwa bunga utang yang terbebani pada utang kita jauh di atas rerata bunga secara internasional.

Pemerintah Jokowi tentu merasa bahwa utang sebesar itu tetap aman karena berada pada aturan ratio utang terhadap GDP, yakni di bawah 60%. Dalam “Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi, CNN Indonesia, 26/1/23, pemerintah menjelaskan bahwa bersamaan dengan utang tersebut, aset Indonesia semakin besar dan ratio utang terhadap GDP terkendali. Pada sisi lainnya, ” distress loan” atau utang yang beresiko tinggi mencapai $45 Milyar dollar, pada Februari 2022, sebagai mana dilaporkan Global Capital Asia dalam “Clock is ticking on Indonesia’s bad debt problems”.

Meskipun ketakutan terhadap utang disepelekan rezim Jokowi, namun Anies Baswedan dan kalangan oposisi seperti Said Didu dan Rizal Ramli, mencemaskan persoalan utang ini. Tentu saja kecemasan ini beralasan karena kemampuan kita menghasilkan uang untuk membayar utang dan bunga utang semakin sulit. Dengan utang ribuan triliun tersebut, dan kemampuan negara menghasilkan pajak yang kecil, dapat dipastikan menjerat ruang fiskal kita beberapa dekade ke depan. Ini belum lagi jika mengasumsikan adanya kondisi “unpredictable”, yang membuat kita “shock”, seperti bencana, wabah, perang, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998, kita mengalami “self claimed” pondasi ekonomi yang baik, merujuk juga berbagai lembaga rating dan multilateral Institution. Namun, ketika badai krisis terjadi di Thailand saat itu, lalu merembet ke Indonesia, langsung keadaan tenang menjadi bencana ekonomi.

Selain soal kemampuan, apakah kita tidak sedang mengulangi istilah “Odious Debt” yang kita kutuk di era Suharto? Banyak rencana pemerintah dicurigai tidak untuk kepentingan nasional (national interest), misalnya kritikan banyak ekonom terhadap rencana pemerintah mensubsidi motor listrik Rp 6,5 juta permotor, ketika ruang fiskal menyempit Begitu pula rencana pemerintah memasukan beban pembengkakan biaya Kereta Api Cepat China Bandung-Jakarta ke APBN. Belum lagi soal korupsi yang terus meroket kian kemari.

Itulah kenapa kemudian Anies membangunkan kita tentang tantangan pembangunan ke depan, bagaimana membangun dengan kemandirian? Bagimana keluar dari krisis utang?

Utang dan Jebakan Kemiskinan

Kemiskinan dan pengentasan kemiskinan di era Jokowi adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. CNBC Research Indonesia dalam “Rapor Merah Angka Kemiskinan Jokowi”, 24/1/23, melaporkan perbandingan tingkat kemiskinan di awal rezim Jokowi berkuasa, sampai sebelum Pandemi Covid-19, hanya turun dari 11,22% (Maret 2015) menjadi 9,78% (Maret 2020)atau 1,44% menurun selama 5 tahun. Pada masa awal reformasi penurunan kemiskinan 1999-2004 mencapai 6,8% dan masa SBY 2004-2014 mencapai 5,7%. Fakta ini menunjukkan bahwa Jokowi secara relative terhadap SBY dan pemimpin sebelumnya benar-benar tidak pro kepada rakyat miskin.

Secara teoritis, memang utang yang masuk kesebuah negara berkembang dikontrol oleh keinginan asing atau investor. Uang-uang yang mengalir ke Indonesia semakin lama hanya menguntungkan segelintir elit penikmat ekonomi kita. Struktur ketimpangan di Indonesia sangat parah, dan mereka, oligarki dan orang-orang yang berkolaborasi dengan pemberi utang, memutar uang mereka pada sektor-sektor dan bisnis yang menguntungkan saja. Ini bahkan juga terjadi ketika krisis pandemik, di mana orang-orang kaya dan banyak pejabat negara mengalami peningkaan kekayaan yang signifikan. Jika saya penyelenggara negara mempunyai watak mandiri dan mengerti tentang konsep bernegara, tentu saja kemamkmuran yang diciptakan oleh utang akan mengalir secara merata kepada semua pihak Lalu, akhrnya orang-orang miskin akan terbebas dari kemiskinannya.

Dalam era Jokowi, lebih parah lagi utang-utang yang dikembangkan pada infrastuktur dan sejenisnya telah menciptakan jebakan utang, seperti membengkak dan terus membengkaknya biaya kereta api cepat Bandung-Jakarta, lamanya durasi perjanjian pemakaian lahan bagi keperluan infrastruktur, ratusan tahun jika perpanjangan terjadi, dijadikannya BUMN sebagai jaminan utang, dan lain sebagainya.

Penutup

Melalui postingan foto dirinya dan buku “Debt Crisis” by Ray Delio, yang dimediakan massif oleh media sosial dan online, Anies ingin menunjukkan pada Bangsa Indonesia tantang perubahan ke depan adalah keluar dari jeratan utang yang diciptakan rezim Jokowi. Rezim Jokowi telah membuat utang kita nantinya akan mencapai 300% dari jumlah utang era SBY atau belasan ribu triliun. Pada saat bersamaan kemiskinan tidak berkurang signifikan dibandingkan era SBY dan era pemimpin sebelumnya.

Utang menurut Delio dapat dikurangi dengan “Austerity, Debt defaults and restructurings, Money printing by the central bank and Transfer of money from those who have more to those who have less”, tergantung sifatnya “inflationary/deflationary cycle.

Pemimpin ke depan dapat melakukan itu asalkan tidak seperti rezim penghamba utang saat ini serta fokus pada kemandirian dan sektor prioritas. Namun, yang lebih penting lagi adalah utang hanya dan hanya bisa diletakkan menjadi bagian pelengkap penting dalam pembangunan bangsa apabila pemimpin ke depan adalah pemimpin perubahan, yakni cinta rakyat dan anti korupsi, bukan perpanjangan rezim Jokowi. (utw)

Tokoh RI

Capres No.1 Anies: Manfaat IKN Hanya Dirasakan oleh Aparatur Negara Daripada Rakyat RI

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Anies Baswedan menilai manfaat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), lebih banyak dirasakan untuk aparatur negara daripada masyarakat.

Anies mengatakan hal itu untuk menjawab pertanyaan dari mantan wakil menteri luar negeri Dino Patti Djalal. Menurut Anies, “Pembangunan kota baru di Indonesia masih belum terlalu penting, selama pemenuhan infrastruktur mendasar masih belum merata di seluruh daerah,” jelasnya di jakarta (2/12/2023).

Anies juga mengaku pernah ditanya oleh seorang ibu tentang pembangunan IKN. Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun bertanya balik kepada ibu tersebut, apakah pembangunan IKN itu perlu atau tidak.

Jawaban ibu itu, lanjut Anies, sesuai dengan pemikirannya. Menurut Anies, Indonesia masih memerlukan upaya pemerataan pembangunan, terutama pada fasilitas mendasar, seperti sarana kesehatan dan pendidikan.

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menilai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak mendesak untuk dikerjakan, meskipun sudah terbentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun mempertanyakan apakah sumber daya fiskal yang terbatas itu akan digunakan untuk membangun suatu tempat atau membiayai hal mendesak. Salah satu hal urgen yang disorot Anies ialah adalah soal honor guru.

Menurut Anies, wacana pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan bersifat kontraproduktif apabila anggaran triliunan rupiah tidak dialokasikan untuk honor guru. Terlebih lagi, tambahnya, saat ini honor bulanan guru hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari sekitar 10-15 hari saja.

https://www.facebook.com/reel/163592250172671?s=yWDuG2&fs=e&mibextid=Nif5oz

Sehingga, meskipun telah ada UU IKN, kata Anies, dia memiliki skala prioritas apabila nantinya terpilih memenangi Pilpres 2024 dan menjalankan pemerintahan. Menurut dia, suatu pembangunan ada yang bersifat penting dan bersifat mendesak.

Indonesia and the World: 1 Jam Bersama Anies di Conference on Indonesian Foreign Policy 2023 (CIFP 2023). (tw)

LIVE: https://youtube.com/live/G_DXbv932wc

Continue Reading

Tokoh RI

Capres Anies Janjikan Bawa Kerukunan Jakarta ke Tingkat Internasional

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Calon presiden nomor urut 1 untuk Pemilu 2024 Anies Baswedan menjanjikan akan membawa kerukunan Jakarta yang merupakan hasil ketika dirinya masih menjadi gubernur ke tingkat internasional. 

Menurut Anies, bukan persoalan siapa yang memimpin Jakarta, namun gagasan persatuan apa yang bisa dikolaborasikan untuk mewujudkannya.

Anies melihat Jakarta dengan beragam suku, agama, ras, dan golongan bisa memiliki gagasan persatuan yang ditopang oleh rasa keadilan dan perlindungan untuk semua.

Sehingga negara bisa melindungi semua, karena negara memandang seluruh yang ada di Jakarta sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan yang sama. (ut)

Continue Reading

Tokoh RI

Anies Sindir Rumput JIS yang Diganti Pihak PSSI karena Pernah Disebut Tak Berstandar FIFA

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan sempat menyindir rumput Jakarta Internasinal Stadium (JIS) yang telah diganti dari aslinya dan mendapat keluhan pemain Timnas U-17 Argentina.

Sindiran itu diungkap Anies dalam Rembuk Ide Transisi Energi Berkeadilan yang diselenggarakan The Habibie Center, di Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2023).

Awalnya, Anies memperkenalkan salah satu kebijakannya yang mendukung energi berkelanjutan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah pembangunan JIS.

“Kita tahu di JIS itu konsep bangunannya adalah konsep green building level platinum, dan di situ juga menggunakan 1.080 unit panel surya yang ada di atas JIS itu,” ujar Anies.

Dia menyebutkan, energi listrik yang digunakan JIS berasal dari panel surya yang merupakan salah satu energi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Anies kemudian menyebutkan, yang menggunakan panel surya adalah atap JIS, bukan rumput yang kini kembali ramai dipersoalkan.

“Jadi bapak ibu sekalian, energi yang dipakai di JIS itu menggunakan itu semua, bukan rumputnya yang pakai net zero, tapi atapnya. Kalau rumputnya biar urusan FIFA itu ramainya,” katanya.

Sebelumnya, Ketua PSSI Erick Thohir menyebut rumput JIS disebut standar FIFA.

Oleh karena itu, rumput lapangan JIS kemudian diganti agar sesuai standar FIFA dalam penyelenggaraan Piala Dunia U-17.

Namun, pada Jumat (17/11/2023), hasil pergantian rumput JIS justru dikeluhkan oleh Kapten Timnas U-17 Argentina Claudio Echeverri.

Menurut Claudio Echeverri, kondisi rumput JIS tak memuaskan. Ia menyebut rumput terasa buruk karena tak basah.

“Tidak, lapangan bermain sangat tidak padat dan tak basah juga, jadi agak buruk,” kata Echeverri.

Pemain berumur 17 tahun itu mencoba membandingkan rumput JIS dengan Stadion SI Jalak Harupat. Echeverri mengungkapkan, rumput Stadion Si Jalak Harupaat jauh lebih baik ketimbang JIS.

Walau demikian, Echeverri tak mau mempermasalahkan rumput JIS. Sebab, yang terpenting Argentina mampu menang atas Polandia.

“Lapangan Bandung lebih baik, tetapi tidak masalah. Kami mencoba bermain dan baiklah kami berhasil mengamankan kemenangan,” kata dia. (ut)

Continue Reading
Advertisement

Trending