Ekonomi
Aturan PPn 12 Persen Tidak Sesuai Perintah Presiden, Ketua Komisi XI DPR: Dirjen Pajak Lebih Baik Mundur
![](https://reportaseindonesia.com/wp-content/uploads/2025/01/pajak_ppn_c48e3283e0.webp)
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengaku bingung dengan Peraturan Menteri keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Beleid yang dikeluarkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) PPN 12 persen mulai tahun ini, menurut Misbakhun sangat multitafsir yang membingungkan banyak pihak, khususnya pengusaha.
Selain itu, kata Misbakhun, Presiden Prabowo sudah jelas dan tegas menyebut pemberlakukan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah. Yakni barang dan jasa yang selama ini, sudah dikenakan PPN barang mewah dan hanya dikonsumsi masyarakat golongan mampu.
Dalam PMK 131/2024 itu, lanjut politikus Partai Golkar itu, sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain yakni 11/12.
Di mana, ada penafsiran tunggal, seakan-akan UU No7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak boleh menerapkan PPN dengan multitarif.
“Padahal sangat jelas bahwa dalam pasal 7 UU HPP, tidak ada larangan soal multitarif PPN. Boleh diterapkan PPN 11 persen dan PPN 12 persen secara bersamaan. Yakni, PPN 11 persen berlaku untuk barang dan jasa bukan kategori mewah. Dan, PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah,” terang Misbakhun, Jakarta, dikutip Sabtu (4/1/2024).
Saat ini, kata Misbakhun, sejumlah pengusaha merasa bingung dengan pemberlakuan PMK 131/2024. Beberapa perusahaan ritel dilaporkan telah memungut PPN 12 persen, seperti disampaikan Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo dalam media briefing yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
Persiapan yang mepet menjelang implementasi kebijakan ini, menurut Misbakhun, sangat menyulitkan pelaku usaha dalam menyesuaikan sistemnya. Meski, pengusaha masih bisa melakukan penghitungan ulang PPN melalui SPT Masa, kebijakan ini tetap membebani masyarakat.
Misbakhun sangat menyayangkan PMK 131/2024 yang menimbulkan multitafsir dan tidak sesuai dengan arahan Presiden Prabowo. Dikhawatirkan bakal menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Dipertanyakan loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menerjemahkan instruksi Presiden Prabowo. Termasuk PMK Nomor 131 Tahun 2024 menunjukkan adanya tafsir subyektif yang bertentangan dengan perintah Presiden Prabowo serta UU HPP.
“Dirjen Pajak sebaiknya mempertimbangkan untuk mengundurkan diri jika tidak mampu melaksanakan arahan Presiden Prabowo dengan tepat. Bikin aturan yang lebih sederhana dan tidak menimbulkan multitafsir,” ungkapnya.
Ia juga meminta agar mekanisme penyusunan peraturan dilakukan dengan cermat sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat maupun dunia usaha.
“Kebijakan perpajakan yang menjadi salah satu aspek strategis dalam perekonomian nasional membutuhkan penerapan yang akurat dan transparan agar tujuan meningkatkan keadilan pajak dapat tercapai tanpa menimbulkan polemik,” ungkapnya. (ut)
![](https://reportaseindonesia.com/wp-content/uploads/2024/09/logo-ri.jpeg)