Teknologi
Bisa Dingin Tanpa AC dengan Desain Rumah Bioklimatik
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Pendingin udara atau AC (Air Conditioner) sudah dianggap menjadi kebutuhan yang wajib untuk negara tropis yang lembab dan hawa panas seperti Indonesia, Vietnam, atau Filipina. Penggunaan AC ini berdampak pada penggunaan energi menjadi boros listrik.
Menghadapi cuaca panas ekstrem dan polusi saat ini, Firma arsitektur yakni T3 Architecture Asia, menganjurkan cara yang membuat ruangan tetap adem dengan “arsitektur bioklimatik”, yang katanya bisa mengurangi penggunaan AC yang boros energi.
Direktur implementasi di perusahaan konsultan dan penelitian Carbon Trust, Myles McCarthy menyatakan bahwa arsitektur ini memiliki peran penting untuk bangunan baru pada suatu kota-kota seperti Asia yang memiliki peningkatan kepadatan penduduk hingga berpengaruh pada tingginya penggunaan air dan energi.
“Sangat penting untuk semua desain bangunan baru di kota-kota ini lebih memanfaatkan arsitektur bioklimatik. Dikarenakan jumlah permintaan bangunan di kota – kota Asia meningkat, baik domestik maupun komersial, serta bertambahnya populasi beriringan dengan kebutuhan akan kehidupan tinggi, sangat penting untuk memastikan pertumbuhan ini tidak mendorong konsumsi energi dan air yang lebih tinggi.” ucapnya.
Back To Basic
Direktur T3 Architecture Asia, Charles Gallavardin, pertama kali terjun ke arsitektur bioklimatik pada tahun 2005. Ia membangun sebuah apartemen dengan harga terjangkau di Kota Ho Chi Minh yang bekerja sama dengan Bank Dunia dan dapat menampung hingga 350 keluarga di lingkungan miskin.
“Kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk AC, bahkan di iklim panas seperti Ho Chi Minh, asalkan bangunan Kamu dirancang dengan baik,” ucap Gallavardin.
Gallavardin menjelaskan bahwa tipikal bangunan T3 bioklimatik ini secara alami memiliki suhu sekitar 5 Celcius (9 Fahrenheit) lebih dingin daripada suhu di luar, dengan ventilasi alami dan kipas atap, insulasi fiberglass, dan material alami lainnya untuk pencahayaan dan ventilasi alami Kota Ho Chi Minh
“Kami berusaha menghindari fasad kaca besar yang menghadap ke timur atau barat, karena itu akan membuat bangunan seperti oven di iklim tropis,” ujarnya.
“Jika Kamu bekerja dengan aliran angin utama dan memiliki perlindungan matahari yang cerdas, Kamu dapat merancang bangunan yang tidak memerlukan AC di tempat yang panas seperti Vietnam.” tambahnya.
Sejak proyek pertamanya, Gallavardin telah membangun beberapa hotel bioklimatik mewah di Kamboja dan Myanmar, sebuah restoran konsep di Kota Ho Chi Minh, bahkan kantor hijaunya sendiri untuk tim T3. Selain itu, arsitek lain juga mencoba menggunakan metode yang sama dengan gaya bangunan ini.
Di Indonesia, Rumah Kost Biofilik Arsitek Andyrahman terpilih dalam kompetisi Building of the Year 2016 pada festival arsitektur dunia dan mendapatkan pujian untuk desain bangunannya di Surabaya, Jawa Timur karena membuat dindingnya berlubang yang membuat bangunan tampak sejuk dan adem .
Kemudian, di Cina terdapat firma arsitektur Amerika yaitu Perkins & Will, mencoba pendekatan bioklimatik ke Museum Sejarah Alam Shanghai. Gedung ini menyediakan AC di area galeri untuk melindungi karya seni dari kelembapan, tetapi arsitektur ini menerapkannya di area baru pada gedung ini dengan memberikan jendela otomatis dan skylight untuk ventilasi alami di area publik sehingga museum ini menghemat 15% konsumsi energi dibandingkan dengan museum berdesain standar.
Bukan Hal Baru
Sebelum abad ke-20, arsitektur bioklimatik merupakan hal yang lazim dan masih terlihat sampai sekarang pada bangunan seperti vernakular dari hacienda Spanyol hingga rumah desa tradisional Tionghoa. Namun, dengan hadirnya penemuan AC di Amerika Serikat oleh Willis Haviland Carrier pada tahun 1902, solusi bioklimatik tidak lagi disukai.
International Energy Agency (IAE) memperkirakan bahwa 80% jumlah permintaan AC akan datang dari Asia pada tahun 2050, tetapi sejauh ini sistem pemanas dan pendingin telah mengkonsumsi energi gedung global sebanyak 40%.
“Di Asia Selatan dan Tenggara khususnya daerah pedesaan, AC bukan hal yang lazim. Namun, semakin hari sudah menjadi lebih umum di pusat kota dan berkontribusi terhadap konsumsi energi yang tinggi,” ucap rekan peneliti di Fakultas Geosains dan Universitas Lingkungan di Universitas Lausanne di Swiss, Marlyne Sahakian, yang menulis Keeping Cool in Southeast Asia.
“Di Filipina, ada tren ‘Barat adalah yang terbaik’, dengan gaya arsitektur yang meniru model dari belahan barat laut yang tidak sesuai dengan iklim setempat,” tambahnya, mengutip mengenai model “menara kaca”.
Secara keseluruhan, Gallavardin menyatakan bahwa negara Asia masih lambat menerapkan metode bangunan ramah lingkungan dan masih berasumsi bahwa dengan meletakkan pohon atau menambahkan panel surya akan dianggap sebagai penghijauan.
“Apa yang saya lihat di Asia, bahkan di negara-negara kaya seperti Hong Kong atau Singapura, mereka menyukai ‘pencucian hijau.’ Mereka meletakkan pohon di fasad, menambahkan panel surya dan menyebutnya bangunan hijau. Namun, ketika dilihat lebih dekat, itu tidak benar-benar hijau, malah terkadang justru sebaliknya. Kita akan melihat bangunan yang benar-benar hemat energi di Asia di masa yang akan datang, tetapi prosesnya masih sangat lambat.” (tri)