Connect with us

Petani

Dari Desa ke Dunia: Perempuan 28 Tahun Ini Sukses Ekspor Gula Kelapa hingga ke Korea, Belanda, dan Malaysia

Published

on

Dari Desa ke Dunia: Perempuan 28 Tahun Ini Sukses Ekspor Gula Kelapa hingga ke Korea, Belanda, dan Malaysia

REPORTASE INDONESIA – Magelang, Ella Rizki Farihatul Mastuhah, perempuan berusia 28 tahun asal Dusun Semen, Desa Trenten, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, menjadi sosok inspiratif yang mengubah wajah pertanian lokal menjadi bisnis global.

Meski tengah menempuh pendidikan S3 Kimia di Universitas Gadjah Mada, Ella juga menjabat sebagai CEO PT Nira Lestari International — perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan ekspor gula kelapa (gula semut).

Melalui kelompok wanita tani (KWT) Mira Lestari yang ia dirikan, Ella memberdayakan 94 ibu-ibu desa yang sebelumnya bekerja sebagai buruh di kota dengan penghasilan harian hanya sekitar Rp20.000.

Kini, berkat produksi gula semut, penghasilan mereka meningkat hingga tiga bahkan lima kali lipat. Inisiatif ini bukan hanya meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka, tetapi juga mempertahankan peran ibu sebagai pilar rumah tangga di desa.

“Potensi kelapa di desa kami sangat besar, ada 480 hektar lahan kelapa di kecamatan ini. Daripada ibu-ibu bekerja di kota, lebih baik kita maksimalkan sumber daya lokal,” ujar Ella.

Perusahaan ini kini telah mengekspor produk ke Korea, Belanda, dan membuka cabang di Malaysia melalui skema joint venture. Inovasi Ella tak berhenti di situ.

Ia juga menciptakan produk vegan bernama Vega Nektar, madu dari bunga kelapa dengan indeks glikemik rendah, ramah untuk penderita diabetes dan vegan. Selain itu, ia juga mematenkan alat produksi VCO (Virgin Coconut Oil) yang mampu mempercepat proses produksi hanya dalam 3 jam dan menghasilkan kualitas tinggi.

Ella menekankan pentingnya tiga prinsip dalam membangun kelompok tani yang berkelanjutan: kesamaan visi misi, transparansi, dan profesionalisme. “Ketua kelompok harus bisa mengayomi dan menjembatani komunikasi antar anggota.

Profesionalisme tidak berarti meninggalkan budaya desa, tetapi bagaimana kita membawa nilai-nilai lokal ke dalam manajemen modern,” tuturnya.

Pendanaan kelompok ini berasal dari berbagai sumber: dana desa, kolaborasi dengan investor, hingga crowdfunding.

Menurut Ella, bisnis matching sangat penting, bahkan bisa dilakukan tanpa pinjaman. “Misalnya saya punya lahan, kamu yang olah. Atau kita kerja sama dengan pihak yang punya akses pasar.”

Berangkat dari pengalaman pribadi yang pahit di masa SMP, Ella menjadikan semangat, iman, dan pendidikan sebagai bekal menuju perubahan.

Ia kini membuktikan bahwa perempuan muda dari desa pun bisa memimpin bisnis global tanpa melupakan akar dan nilai lokal. (ut)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement