Connect with us

Nusantara

Food Estate: Perkebunan Singkong Mangkrak, Ribuan Hektare Sawah Gagal Panen di Kalteng

Published

on

REPORTASE INDONESIA Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.

Penelusuran LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.

Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.

Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.

Dengan nada bicara tinggi, Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.

Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional.

Kini, semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektare yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh keluarganya.

“Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan. Sekarang lihat saja kayak lapangan… siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur,” ucapnya sewot di rumahnya awal Februari lalu.

Pria 53 tahun ini berkata warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate atau pembukaan kebun singkong.

Hingga pada November 2020, menurut Rangkap, puluhan alat berat yang dikawal tentara tiba-tiba masuk ke hutan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, membenarkan pernyataan Rangkap.

Proses sosialisasi, katanya, berlangsung tiga kali pada 2020. Karena situasi kala itu pandemi Covid-19, hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertahanan.

Mereka yang diajak di antaranya seluruh kepala desa di Kecamatan Sepang, damang (kepala adat), mantir (perangkat adat), lurah, bupati, kapolsek dan kapolres.

Di situ disampaikan ada program nasional lumbung pangan singkong yang mencakup empat desa yakni seluas 31.000 hektare – setara dengan setengah luas DKI Jakarta.

Namun tak ada penjelasan lanjutan soal mengapa lahan food estate itu menggunakan hutan produksi di desanya dan mengapa tanaman singkong yang dipilih.

Selaku kepala desa, Sigo mengeklaim tak berani menolak kebijakan dari pemerintah pusat.

“Kami tetap menerima, yang penting program ini terjadi masyarakat inginkan ada tenaga kerja lokal sesuai kemampuan masing-masing. Ternyata fakta di lapangan, sejak lahan dibuka sampai ditanami singkong tidak ada dilibatkan masyarakat satu pun,” ujarnya.

Kebun singkong dijaga ketat

Apa yang terjadi di dalam kebun singkong, tak ada yang tahu.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, berkata masyarakat dilarang masuk ke area tersebut. Begitu juga dirinya.

Bahkan untuk meminta kayu yang sudah ditebang pun, katanya, tak boleh.

Suatu kali ia pernah ke sana untuk meminta beberapa batang kayu demi kebutuhan pembangunan kantor desa.

Tapi begitu sampai, katanya, dia dicegat tentara.

Rangkap juga mengalami kejadian serupa. Dia berkisah, waktu itu ia mau mengambil sayur di ladang miliknya. Saat tiba, lahannya sudah habis dibabat.

Di lain hari, dia hendak mencari kayu untuk memperbaiki rumah namun dicegah.

“Kayu itu bukan untuk dijual, untuk dipakai kok dilarang? Kayak penjajahan saja,” katanya kesal.

Sejak itu, Rangkap tak pernah mau menginjakkan kaki di sana.

Sampai di akhir 2021 satu per satu pekerja meninggalkan area itu.

Tak ada informasi dari pekerja kontraktor di kebun singkong kenapa mereka pergi, tutur Sigo. Ia pun tak tahu status program food estate ini dihentikan atau masih berlanjut usai terbengkalai.

kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.

Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.

Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus.

Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.

Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.

Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter.

Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.

Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar bahkan mengaku tak pernah melihat pekerja memanen singkong-singkong itu.

Food estate padi yang tak kunjung panen

Selain singkong, pemerintah juga mengembangkan food estate atau lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Sebagian besar atau sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.

Menengok sejarah ke belakang, kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng Sunarti, di era pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono area itu menjadi sentra padi.

Meskipun gambut, sambungnya, tapi tidak terlalu dalam. Sehingga tanah di sana, klaimnya, subur lantaran sudah diolah bertahun-tahun oleh warga transmigran.

Untuk program ini, penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertanian menggunakan dua metode: intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi artinya menggenjot produksi padi dari lahan sawah yang sudah ada jadi lebih tinggi lagi.

Sedangkan ekstensifikasi, meningkatkan hasil pertanian dengan cara mencetak sawah baru di atas lahan tidur atau terlantar.

Kalau menurut beberapa pengamat pertanian, food estate semestinya fokus pada upaya ekstensifikasi. Mengingat luas lahan pertanian di Jawa kian menyusut akibat pembangunan.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan luasan lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru pada 2021-2022 di dua kabupaten di Kalteng mencapai 17.175 hektar.

Hanya saja, dari ribuan hektare itu belum ada sawah yang bisa dipanen karena “lahan baru dibuka dan ditanam,” kata Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman.

Mengapa program lumbung pangan tak ada yang berhasil?

Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan pihaknya sudah mengira program lumbung pangan ini bakal gagal seperti yang sudah-sudah.

Perlu diketahui, program serupa pernah dijalankan oleh mantan presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono di Kalteng. Namun tak ada yang berhasil.

“Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng,” ujar Bayu.

Menurut Bayu, menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan.

Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.

Kini, pemerintah tak cuma mengobrak-abrik gambut tapi merembet ke kawasan hutan yang menjadi lokasi kebun singkong.

Padahal hutan itu adalah habitat orang utan.

“Di sana salah satu wilayah yang tutupan hutannya masih bagus dan itu jadi koridor orang utan,” ujarnya.

Sejumlah warga yang tinggal di sekitar kebun singkong membenarkan ucapan Bayu. Beberapa kali mereka melihat dua orang utan dewasa melintas di hutan itu.

Dalam hal kondisi sosial masyarakat, sambungnya, orang Dayak sebetulnya sudah punya pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal mereka.

Sehingga mereka tahu betul mana lokasi yang bisa dijadikan lahan pertanian.

Sayangnya, dia menyebut, program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka.

“Masyarakat di sini pola pertanian sawah belum dekat. Kalaupun ada itu bukan orang lokal tapi transmigran.”

“Penduduk setempat terbiasa berladang dengan membakar lahan. Tapi kalau terjadi kebakaran, mereka yang disalahkan. Padahal mereka paling punya lahan dua sampai tiga hektare saja.”

Apa yang terjadi sekarang, menurut Bayu, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan dan itu bukan perkara sederhana.

Butuh proses yang panjang untuk berubah.

Persoalan lain mengapa program ini kandas, katanya, benih yang diberikan ke petani lokal tidak sesuai dengan pengetahuan mereka, semisal siam munus atau siam mayang. (tw)

Nusantara

Kuasa Hukum Warga Rempang dan Galang Gugat BP Batam hingga Jokowi ke Pengadilan

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Kuasa Hukum Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang dan Galang mendaftarkan gugatan tentang pembatalan perjanjian pengelolaan dan pengembangan Pulau Rempang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 September 2023.

Gugatan itu ditujukan kepada Badan Pengusahaan Batam atau BP Batam, Wali Kota Batam, PT Makmur Elok Graha, jokowi, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sementara itu, Perusahaan Xinyi dan notaris menjadi pihak yang turut tergugat.

Alfons Loemau, perwakilan kuasa hukum, menyatakan bahwa dasar gugatan itu adalah perjanjian BP Batam dan investor di atas lahan seluas 17.000 hektare di Rempang dan Galang. Padahal, menurut dia, BP Batam belum memiliki alas hak sebagai pemegang hak atas tanah itu.

“Otorita Batam (BP Batam) dan Wali Kota Batam melakukan perjanjian kerja sama dengan investor pada 2004. Gantung sampai hari ini, tiba-tiba masyarakat Rempang digusur dengan dalih proyek strategis nasional,” ujar Alfons di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 September 2023.

Petrus Selestinus, kuasa hukum lain, menyatakan bahwa MOU atau perjanjian BP Batam dengan investor pada 25 Agustus 2004 itu cacat hukum. Sebab, menurut dia, SK Menteri Agraria pada 1993 mensyaratkan antara lain hak pengelolaan lahan tidak boleh dialihkan kepada pihak ketiga.

“Tapi di dalam perjanjian pada 2004 itu BP Batam dan PT MEG ini dapat mengalihkan kepada pihak ketiga. Itu salah satu pelanggaran yang kita lihat tidak sejalan dengan SK Menteri Agtaria pada 1993,” ujar Petrus.

Lebih lanjut, Petrus menjelaskan bahwa kebijakan untuk memindahkan pariwisata ke Pulau Rempang sudah dimulai sejak 1992. Namun, setelah perjanjian 2004, kebijakan itu tiba-tiba bergeser menjadi pembangunan industri besar pabrik kaca. “Sehingga kami minta dibatalkan,” kata Petrus.

Konflik di Pulau Rempang muncul setelah BP Batam memaksa warga di sana untuk hengkang karena wilayah itu akan digunakan untuk Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City. Bentrokan pun sempat terjadi pada 7 dan 11 September lalu.

Dalam bentrokan itu, aparat disebut sempat melepaskan tembakan gas air mata ke arah sekolah dasar. Selain itu, mereka juga menangkap sejumlah warga yang menolak penggusuran.

Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang itu akan digarap oleh PT Mega Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata. Untuk tahap awal ini, MEG menggandeng perusahaan Xinyi Glass asal Cina untuk membangun pabrik pembuatan solar panel. (tri)

Continue Reading

Nusantara

Marina City Batam: Las Vegasnya Indonesia Pusat Dunia Malam dan Perjudian Runtuh, Kini Bangun Rempang Eco City

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Riau, Dulu Kepualauan Riau, dikenal memiliki kota Marina City terletak di Tanjung Riau, Sekupang, Batam. Kebanyakan bangunannya memiliki gaya bangunan khas Eropa.

Marina City memiliki daya tarik tersendiri di masanya, bukan saja warga Indonesia, tapi juga dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura juga lainnya.

Kala itu, Marina City yang disebut Las Vegasnya Indonesia sering dijadikan sebagai markas perjudian terbesar di Batam dan memiliki gaya hidup yang hedon, penuh dengan dunia malam.

Alasan aktivitas rumah perjudian yang selalu aktif serta dunia malam yang menggoda ini, juga menjadi alasan turis asing selalu ramai datang. Pada masa itu, perjudian menjadi hal yang lumrah disana. Bahkan, bagi sebagian krang berjudi sudah menjadi gaya hidup masyrakat setempat.

Perekonomian di Marina City menjadi berkembang pesat. Hingga banyak yang mengklaim bahwa Marina City adalah Las Vegasnya Indonesia. Kota ini miliki penduduk yang kaya raya, bahkan tukang ojek di sana saja bisa membeli mobil.

Namun kejayaan ini berakhir, kota Marina City behenti bernapas, setelah adanya larangan perjudian era presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kawasan ini seolah kehilangan denyut nadi perekonomiannya.

Perekonomian menjadi mati dan membuat Marina City tidak dapat bangkit kembali. Kota ini disebut sebagai “Kota Mati” karena hampir tidak ada orang yang mendudukinya. Bahkan kota yang begitu meganya tersebut, kini menjadi tempat adu nyali, karena dikenal angker dan horor.

Sederet bangunan kota Marina City, banyak bergaya Eropa klasik dan masih berdiri kokoh. Ini membuktinya megahnya kota surganya para pejudi tersebut. 

Balakangan ini ramai soal rencana relokasi pulau rempang, adapun alasan yang banyak dikemukakan, bahwa disana akan ada proyek Program Strategis Nasional, yaitu sering disebut rempang eco city. Terus yang dimaksud Eco City, samakah dengan Marina City yang sudah berhenti bernapas?.

Sebenarnya dari berbagai penjelasan tidak ada hubungannya antara Marina City dengan Rempang Eco City. Karena dilansir dari berbagai sumber, Rempang Eco City adalah proyek kawasan ekonomi baru yang ada di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Rencananya Rempang Eco City akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan dan kawasan wisata terintegrasi.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional Jokowi 2023. Hal ini diatur dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto 28 Agustus 2023 lalu.

Rempang Eco City digarap oleh pemerintah pusat melalui kerjasama Badan Pengusaha Batam dan PT. Makmur Elok Graha. Nantinya, Rempang Eco City akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan hingga wisata terintegrasi.

Terkait perkembangan kasus penolakan warga atas relokasi terkesan mendadak ini, mengutip dari bpbatam.go.id, Pertemuan Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, Bahlil Lahadalia dengan para tokoh (19/9/2023) mendapat titik temu.

Pemerintah berkomitmen untuk menjaga hak rakyat, hak kultural, serta hak kesulungan warga yang sudah bermukim secara turun-temurun di Rempang. Bahlil pun menerangkan bahwa investasi Rempang Eco-City akan tetap berjalan.

Tak tanggung-tanggung, Investasi jumbo di wilayah Rempang-Galang ini, ditaksir bakal jadi Mesin Ekonomi Baru bagi Indonesia.

Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 Triliun, Rempang Eco-City diyakini dapat memberikan eskalasi bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang.

Bahkan saat masa pembangunan sekalipun, diperkirakan ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat dengan kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah.

Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol Ariastuty Sirait menjelaskan bahwa jika investasi ini berjalan, akan ada banyak dampak positif yang diterima masyarakat, Kawasan Barelang hingga Indonesia pada skala yang lebih besar.

Marina City Batam Las Vegasnya Indonesia Pusat Dunia Malam dan Perjudian Runtuh, Kini Bangun Rempang Eco City

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional 2023. Hal ini diatur dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto 28 Agustus 2023 lalu.

Rempang Eco City digarap oleh pemerintah pusat melalui kerjasama Badan Pengusaha Batam dan PT. Makmur Elok Graha. Nantinya, Rempang Eco City akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan hingga wisata terintegrasi.

Terkait perkembangan kasus penolakan warga atas relokasi terkesan mendadak ini, mengutip dari bpbatam.go.id, Pertemuan Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, Bahlil Lahadalia dengan para tokoh (19/9/2023) mendapat titik temu.

Pemerintah berkomitmen untuk menjaga hak rakyat, hak kultural, serta hak kesulungan warga yang sudah bermukim secara turun-temurun di Rempang. Bahlil pun menerangkan bahwa investasi Rempang Eco-City akan tetap berjalan.

Tak tanggung-tanggung, Investasi jumbo di wilayah Rempang-Galang ini, ditaksir bakal jadi Mesin Ekonomi Baru bagi Indonesia.

Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 Triliun, Rempang Eco-City diyakini dapat memberikan eskalasi bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang.

Bahkan saat masa pembangunan sekalipun, diperkirakan ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat dengan kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah.

Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol Ariastuty Sirait menjelaskan bahwa jika investasi ini berjalan, akan ada banyak dampak positif yang diterima masyarakat, Kawasan Barelang hingga Indonesia pada skala yang lebih besar.

Pertumbuhan realisasi investasi akan diimbangi dengan keterlibatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Kemitraan strategis antara perusahaan besar dengan UMKM akan terus dikembangkan. Sehingga, Investasi yang masuk ke daerah akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pembangunan dan ekonomi rakyat.

“UMKM akan sangat hidup. Semua proses ini akan melibatkan UMKM. Contoh simple adalah usaha bahan pokok dan makanan, yang akan menyediakan adalah tentu masyarakat di sana yang bisa ambil peran. Pekerja tak perlu jauh ke Batam. UMKM bisa masuk dalam rantai pasok global agar meningkatkan peluang UMKM kita bisa naik kelas.” Kata Tuty.

Namun, Tuty juga berharap publik dapat mencermati apabila Proyek Strategis Nasional ini terhambat, akan menimbulkan banyak pula performa tidak baik atau dampak negatif.

Dari sisi Infrastruktur, Rempang akan tertata rapi dan menjadi wilayah yang maju. Pemerataan pembangunan di Rempang mengalami eskalasi serta peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga.

Pembangunan dermaga akan memudahkan masyarakat nelayan untuk berlayar dan beraktivitas maritim. Taraf Kehidupan sosial di Rempang akan bertumbuh dan merata.

Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City juga akan meningkatkan Kesehatan ekologis dan sosial jangka Panjang.

“Kawasan Parisawata juga akan dikembangkan lebih optimal, sehingga wilayah ini tidak akan mengalami ketertinggalan. Maju namun tidak meninggalkan kearifan lokal yang telah ada.” kata Tuty. (tw)

Continue Reading

Nusantara

Berdialog, Mendengar dan Mencatat Cerita Kelompok Tani di Sukabumi Hadapi Beras Mahal

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Sukabumi, Harga beras terus naik, sudah 4,4% di bulan September ini (Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan September 2023).

Masalahnya, kenaikan harga pangan ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani. Sekarang keluarga-keluarga bayar mahal untuk beras, tapi uangnya tak mengalir sampai ke petani.

“Inilah yang mau kita ubah. Kita ingin ada perubahan tata kelola di sektor pangan dan pertanian. Harga pupuk harus terjangkau. Petani juga dapat kepastian tentang ongkos produksi, kepastian pasokan, dan kepastian harga jual,” ungkap Anies saat hadiri kegiatan kelompok tani di sukabumi, (22/9/2023).

“Kita ingin petani lebih sejahtera, keluarganya tercukupi kebutuhan pangannya, bisa menabung, sehingga taraf hidupnya meningkat,” tutupnya.

Continue Reading
Advertisement

Trending