Politik
Jokowi Disebut Lakukan “Politik Gentong Babi” di Pemilu 2024
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Baru-baru ini, istilah “politik gentong babi” atau “pork barrel politics” menjadi perbincangan hangat pasca muncul dalam film “Dirty Vote” yang dirilis pada Minggu (11/2/2024).
Dalam film tersebut, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengungkapkan konsep politik ini terkait dengan pembahasan bantuan sosial atau bansos. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan politik gentong babi dan bagaimana kaitannya dengan konteks politik pemilu di Indonesia?
Pengertian Politik Gentong Babi
Politik gentong babi pertama kali muncul di Amerika Serikat pada masa perbudakan, di mana budak-budak berebut mendapatkan bagian daging babi yang disimpan dalam gentong.
Dari situlah muncul konsep bahwa ada pihak yang menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi atau politik. Dalam konteks politik, politik gentong babi merujuk pada praktik politik yang menggunakan anggaran negara untuk mempengaruhi pemilih, baik melalui bantuan sosial maupun proyek pembangunan.
Kontroversi Politik Gentong Babi dalam Pemilu 2024
Dalam film “Dirty Vote“, disebutkan bahwa Presiden Jokowi dituduh melakukan politik gentong babi dengan mengalokasikan dana bansos secara besar-besaran menjelang Pemilu 2024.
Hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai upaya untuk memenangkan dukungan pemilih dengan menggunakan sumber daya negara. Ada 5 jenis bansos yang dikucurkan Jokowi di awal 2024, di antaranya:
- BLT El Nino
- Bantuan Pangan Beras
- Program Keluarga Harapan (PKH)
- Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
- Program Indonesia Pintar
Dampak dan Tanggapan Masyarakat
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bahkan menggelar aksi konferensi pers sebagai bentuk kecaman terhadap Presiden Jokowi yang dianggap melakukan politik gentong babi.
Masyarakat pun mempertanyakan motif sebenarnya di balik pemberian bansos tersebut, apakah hanya untuk kepentingan politik semata atau benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.
Politik gentong babi menjadi isu yang sensitif dalam konteks politik Indonesia, terutama menjelang Pemilu 2024. Dengan penggunaan dana bansos yang disorot sebagai salah satu bentuk politik gentong babi, masyarakat diharapkan mampu memilih dengan cerdas dan kritis serta memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kesejahteraan rakyat.
RINGKASAN DIRTY VOTE
Film dokumenter eksplanatory “Dirty Vote” yang dirilis pada 11 Februari 2024 ini merupakan karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. Durasi film ini sekitar 1,5 jam dan sudah ditonton sekitar satu juta penonton pada setengah hari pertama perilisannya. Film ini berisi kritik atas sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia untuk kondisi terakhir khususnya jelang Pemilu 14 Pebruari 2024.
Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Dr Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Dr Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Dr Zainal Arifin Mochtar dari UGM. Mereka menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.
Film ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik tentang masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Manipulasi politik, penyalahgunaan kekuasaan, serta mobilisasi birokrasi tampaknya telah menjadi hal yang lumrah. Hal ini perlu segera diperbaiki untuk menjamin terselenggaranya Pemilu yang jujur dan berintegritas.
Potret Masalah Demokrasi dan Pemilu
Data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu meningkat tajam. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa bantuan-bantuan tersebut dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu, bukan semata-mata demi kesejahteraan rakyat.
Serupa dengan itu, banyak pejabat yang diduga menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye pemilu. Contohnya penggunaan pesawat militer dan mobil dinas untuk keperluan kampanye. Padahal menurut aturan, pejabat negara yang terlibat kampanye politik harus cuti dan tidak boleh memanfaatkan fasilitas negara.
Hal lain yang disoroti adalah rendahnya independensi lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Lembaga ini sering dituduh hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan tidak bersikap netral serta independen. Misalnya dalam hal verifikasi partai politik tertentu atau penanganan pelanggaran kampanye. Independensi MK yang notabene berperan sebagai pengawal demokrasi juga dipertanyakan lantaran ada konflik kepentingan Ketua MK dalam beberapa kasus Pemilu.
Kritik Senada soal Demokrasi
Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal oleh kepala desa yang menuntut revisi UU Desa agar dana desa ditingkatkan. Hal ini diduga sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.
Pemerintah juga dikritik karena diduga menggunakan bantuan sosial sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial seringkali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan.
Fakta lain yang disoroti adalah banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik. Bahkan Presiden Jokowi pun dituduh ikut berkampanye dengan menggunakan fasilitas kenegaraan seperti mobil presiden, meskipun hal itu jelas-jelas melanggar aturan.
Intrik dan Konflik Kepentingan
Dalam film ini, Ketua MK Anwar Usman menjadi sorotan karena dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai capres. Selain itu, ada indikasi transaksi politik di balik putusan MK ini.
Contoh lain ketidaknetralan lembaga peradilan juga ditunjukkan oleh sikap MA yang menolak putusan MK terkait syarat calon presiden. Ketua MA diduga hanya mempertahankan kepentingan politik tertentu. Fakta ini memperlihatkan lemahnya checks and balances antar lembaga tinggi negara.
Berikut catatan fakta-fakta kunci dalam film Dirty Vote:
- Gabungan suara Jokowi dan Prabowo di pulau Sumatera menunjukkan gejala politik transaksional antara elit politik.
- Penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden Jokowi dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana.
- Kasus penunjukan oleh Tito Karnavian untuk Penjabat Gubernur Papua dianggap mengabaikan aturan yang ada. Ini melambangkan penguasa yang berlaku sewenang-wenang.
- Pelanggaran Pakta Integritas oleh Bupati Sorong memperlihatkan tipu daya dan ketidakjujuran pejabat publik.
- Deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) diduga sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.
- Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu.
- Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada kepala desa agar mendukung capres incumbent menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung.
- Penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat seperti Airlangga dan Zulhas untuk kepentingan politik nyata terjadi di lapangan.
- Peningkatan tajam bansos menjelang Pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.
- Data by name by address Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan menunjukkan indikasi kecurangan.
- Keterlibatan sejumlah menteri dan timses capres dalam kampanye politik, di luar aturan yang ada, merupakan bentuk pelanggaran netralitas aparatur negara.
- Ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan.
- Kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu menunjukkan lemahnya pengawasan independen atas kontestasi politik.
- Beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu.
- Banyaknya masalah integritas di MK, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial, menodai legitimasi MK sebagai the guardian of constitution.
Semoga menambah wawasan kita, AMIN. (tw)