Connect with us

Gayahidup

Kisah SUFI Kaya dan GURU Miskin

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Suatu saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang, sang Murid akhirnya bisa berjumpa dengan sufi yang dimaksud.

Betapa kagetnya setelah ia mengetahui rumahnya yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana yang direkomendasikan oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”. Lebih kaget lagi setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh perjalanan jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut. Setelah menyampaikan salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya.

Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak terlalu sibuk dengan urusan dunia.”

Bak disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya.

Sesampai dipadepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut.

Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah SWT.

Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah SWT. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah SWT, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang hartanya biasa-biasa saja, dan merasa semua hanya titipan Allah.

Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada si sufi yang kaya raya tersebut.

Kepada orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah SWT, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar lagi kelak di akhirat, tempat yang abadi. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah SWT.

Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah SWT, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Orang kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah SWT. Dan dengan rezeki yang dititipkan berbeda itu, menjadi ibadah dalam rangka mencapai akhirat kelak yang jauh lebih baik lagi. (tri)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement