Politik
Kritik MK soal Gugatan Usia Capres-Cawapres, Rocky Gerung: MK Mahkamah Keluarga dan Dinasti Kacung
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Kritik MK (Mahkamah Konstitusi) soal gugatan usia calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres), pengamat politik Rocky Gerung menyebut MK itu Mahkamah Keluarga.
MK membacakan putusan itu pada Senin (16/10/2023). Berbagai spekulasi di masyarakat pun muncul.

Pasalnya, tersebar isu atau dugaan gugatan usia capres-cawapres tersebut untuk memudahkan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.
Terkait hal ini, Rocky Gerung menyindir Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Kaesang Pangarep yang juga anak bungsu Presiden Jokowi yang mengajukan gugatan soal usia itu ke MK.
“Kita mewakili kemarahan publik terhadap kemaksiatan di Mahkamah Konstitusi.
Kita menghendaki ada semacam etika,” ujar Rocky Gerung dalam sebuah rekaman suara kepada awak media, Rabu (11/10/2023). “Meminta MK yang ketuanya pamannya—Anwar Usman—supaya Gibran dijadikan calon wakil presiden.

Setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga dan dinasti kacung,” sambungnya.
Setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga,” sambungnya.

Menurut Rocky Gerung, gugatan usia capres-cawapres ini bukan hanya mempersoalkan masuk akal secara hukum tata negara saja atau tidak.
“Ini tidak masuk akal secara etik dan public ethics itu yang sesungguhnya dilanggar MK berdasarkan kesepakatan dengan Jokowi. Dua institusi ini, Presiden Jokowi dan MK, berkomplot untuk membatalkan dasar-dasar berdemokrasi,” kata dia.
Menurut Rocky Gerung, perkara ini merupakan kebijakan hukum terbuka yang seharusnya jadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. (ut)
𝘖𝘱𝘪𝘯𝘪
𝗗𝗿𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗼𝗹𝗼𝘀𝗮𝗹 𝗧𝗵𝗿𝗲𝗲 𝗠𝘂𝘀𝗸𝗲𝘁𝗲𝗲𝗿𝘀 𝗝𝗼𝗸𝗼𝘄𝗶, 𝗣𝗿𝗮𝗯𝗼𝘄𝗼, 𝗠𝗲𝗴𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶
“𝗠𝗘𝗠𝗕𝗔𝗝𝗔𝗞 𝗧𝗥𝗜𝗔𝗦 𝗣𝗢𝗟𝗜𝗧𝗜𝗞𝗔”
Ada bau busuk yang luar biasa menyengat dari koper besar “sirkus Pilpres 2024” mendatang.
Koper yang menyimpan tumpukan design dan siasat super canggih, ratusan kali lebih canggih dari siasat pesta demokrasi 2019.
Pada Pilpres 2019, siasat dibuat dadakan dan disantap panas-panas persis diujung perhitungan suara, namun diakhir pesta, nikmatnya dibagi rata secara berjamaah selama 5 tahun.
Agenda besar dalam siasat Pilpres 2024 esok adalah menyelamatkan Jokowi pasca purna jabatan sekaligus mengawal peralihan kekuasaan ke tangan rezim berikutnya, Ganjar-Mahfud.
Publik digiring sedemikian rupa dalam drama kolosal, seolah ada pengkhianatan, pergolakan dan pertarungan, Kubu Ganjar (PDIP) dengan Jokowi (Gerindra-Golkar-Demokrat-PSI).
Padahal drama kolosal itu sengaja di design untuk satu paket rangkaian kepentingan politik kekuasaan, yakni menyelamatkan rezim Jokowi saat ini dan mengukuhkan kembali kelanjutan estafet kekuasaan pada rezim berikutnya.
Scane Pertama, Jokowi diposisikan mendukung Prabowo dan ada Gibran disana agar menjadi sasaran tembak serangan kritik serta caci maki kubu Ganjar-Mahfud.
Dinasti Jokowi plus MK dijadikan bahan mengolah resep serta menu caci maki oleh kubu Ganjar, semata-mata agar Ganjar dan PDIP terlihat “on the track” pengawal Demokrasi dan sebagai lawan Jokowi.
Ini sesungguhnya siasat, PDIP yang merupakan Kubu Ganjar justru adalah motor perusak Demokrasi lewat tangan kekuasaan Jokowi. Untuk lepas tangan dari kekacauan tersebut, Kubu Ganjar diposisikan menjadi seteru Jokowi yang mengendorse Prabowo-Gibran. Namun ini lagu klasik, karena siapapun dari keduanya yang menang akan saling menyelamatkan satu sama lain, lalu kembali naik dalam satu perahu.
Scane Kedua, Mahfud dikondisikan tidak akan mundur dari Menkopolhukam, padahal UU Pemilu mensyaratkan wajib mundur dari jabatan. Tak mungkin seorang Mahfud, pakar hukum tata negara tak memahami aturan ini, pun begitu ia rela menggadaikan integritasnya untuk melakukan praktik politik tak beretika seperti ini.
Tapi ini lagi-lagi siasat, setelah menguasai MK lewat ipar Jokowi, PDIP sangat berkepentingan untuk menguasai peta ditengah pertarungan, itu sebab harus ada Menkopolhukam yang juga sebagai peserta Pilpres.
Bagaimana mungkin Pilpres bisa berlangsung jujur dan adil, jika peserta Pilpres sekaligus juga regulator dan koordinator dalam sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan isu bidang politik, hukum, dan keamanan.
Ini aneh bin ajaib luar biasa, hukum ditabrak dan dijungkir balikkan sesuai nafsu politik kekuasaan.
Kubu Ganjar-Mahfud yang memaki-maki Jokowi dengan Dinasti Keluarganya sesungguhnya sedang menyelamatkan Jokowi dengan “berpura-pura” menyerang dan berperan sebagai lawan . Begitu Ganjar-Mahfud menang, mereka pun kembali berangkulan dengan erat penuh senyum kemenangan.
Prabowo pun dipaksa merelakan elektabilitasnya rusak dengan harus mendapuk Gibran yg diumpankan sebagai Cawapresnya. Artinya ini bumper pengaman dibelakang, kalau bola menang gagal ditangkap pasangan Ganjar-Mahfud didepan, maka ada pasangan Prabowo-Gibran yang siap menjaga dibelakang.
Namun skenario utamanya tetap memenangkan pasangan Ganjar-Mahfud, dengan demikian Dinasti Jokowi kembali langgeng ke posisi semula, Jokowi aman, kabinet lama selamat, ancaman penjara lenyap dan rezim tetap berlangsung berkelanjutan.
Scan Ketiga adalah pasca pemungutan suara selesai dan perhitungan suara dimulai. Di sinilah giliran peran media, lembaga survey, KPU, Bawaslu, MK, dimulai.
Inilah pemufakatan atas siasat rezim yang aromanya sudah terendus saat ini. Segalanya dirancang secara detail agar nikmat pembagian kekuasaan pun dapat kembali dibagi rata berjamaah untuk 10 tahun ke depan.
Kalau Rakyat Indonesia pakai akal sehatnya, maka jgn pilih kedua kubu Rezim tsb‼️✍️🇮🇩
https://twitter.com/Naz_lira/status/1715996453477466573?t=5swARTUHFxzMX4J9AHNecw&s=19
