Gayahidup
Memuliakan Perempuan dan Generasi Masa Depan
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Tak ada yang mewah dalam warung pecel lele di pinggir jalan itu. Peralatan masaknya sederhana, kursinya dari plastik tipis, pun beberapa sudut mejanya sedikit berlubang. Namun, ada satu keistimewaan dalam warung pecel lele itu: Penjualnya adalah perempuan yang tangguh.
Ibu penjual pecel lele itu hijrah ke ibukota dari Brebes, salah satu wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi di Jawa Tengah. Ratusan kilometer ia tempuh demi masa depan yang lebih baik bagi buah hatinya. Sejatinya ia tak hanya berdagang, di warung kecilnya ia sedang merancang generasi baru yang cemerlang.
Rosi, sang buah hati, boleh saja lahir dari tempat sederhana, tapi mimpinya menjulang tinggi ingin menjadi pengusaha. Ia menyusun kepingan mimpinya dengan jalur pendidikan formal di sekolah. Warung pecel itu semacam laboratorium mini untuk menggapai cita-citanya menjadi pengusaha.
Di warung pecel itu, kami menjadi saksi potret perempuan yang melukis generasi masa depan.
Dalam tiap perjalanan Tirakat untuk mendengar, menyerap, dan merasakan kondisi terkini masyarakat di berbagai penjuru Republik, kami menemui banyak perempuan yang dalam kesederhanaannya dan tanpa disadarinya sedang mendidik buah hatinya menjadi pribadi tangguh.
Perempuan adalah tiang tegaknya sebuah bangsa, penopang dalam kehidupan bermasyarakat. Di mana pun kita berada, kita akan selalu menemui pribadi-pribadi penggerak. Pribadi penggerak itu kebanyakan perempuan. Di Jakarta ada program Ibu Ibukota yang menemukan perempuan penggerak. Dampak peran mereka dirasakan di masyarakat walau mereka sering tak terdengar dan jadi berita. Mereka yang tak nampak di permukaan, tapi senyatanya membuat perubahan.
Zalim rasanya jika negeri ini membiarkan perempuan berjuang sendirian.
Saat negara tak melindungi perempuan dan anak, masa depan bangsa ini terancam. Negara ini harus memuliakan semua perempuan dan anak, tanpa terkecuali.
Masalah Perempuan, Masalah Bangsa
Republik ini tak pernah kekurangan perempuan yang luar biasa.
Perempuan-perempuan tangguh tersebar di seluruh negeri. Ibu penjual pecel lele yang berjuang mencari rezeki, mahasiswi yang semangat menata mimpi, simbok pedagang pasar yang bersiap sejak dini hari, perempuan pekerja kantoran yang berpeluh sedari pagi, buruh pabrik yang telaten bekerja, sampai ibu rumah tangga yang kerap berjuang sendiri.
Tak terhitung pengorbanan perempuan-perempuan itu untuk Republik ini. Negeri ini butuh memahami perempuan dengan sepenuh hati, bukan menghakiminya dengan beragam persepsi.
Selama ini, perempuanlah yang menata satu per satu bata untuk bangunan masa depan negeri ini. Masa depan bangsa ini dipertaruhkan jika kita gagal memuliakan perempuan.
Sayangnya, hari-hari ini ketidakadilan terpampang nyata dalam tiap langkah kehidupan perempuan.
Sejak lahir, perempuan sering tak diberi kesempatan yang sama. Bertumbuh dalam lingkungan yang rawan dengan kekerasan. Mendapat upah yang lebih rendah saat bekerja. Bahkan dalam berkeluarga, kerap mengemban tanggung jawab pengasuhan sendirian.
Ketika buah hati lahir dari rahimnya, seorang ibu langsung bertemu dengan kenyataan pahit: 1 dari 5 anak Indonesia mengalami stunting.
Saat buah hatinya menempuh pendidikan, perempuan kembali dihadapkan pada ketidakadilan. Meski telah tujuh dekade lebih negeri ini merdeka, 7 dari 10 anak yang putus sekolah terjadi karena faktor ekonomi. Bahkan, hanya 6 dari 100 anak keluarga miskin yang mampu mengakses pendidikan sampai perguruan tinggi.
Kita perlu ingat di mana pun lokasi lahirnya, apa pun status ekonominya, setiap anak di Indonesia punya hak untuk tercerdaskan. Perih rasanya ketika doa seorang ibu untuk pendidikan anak-anaknya terbentur dengan kenyataan bahwa negeri ini belum bisa memenuhi janjinya mencerdaskan kehidupan setiap anak bangsa.
Ini bukan hanya masalah perempuan, tak cuma problem keluarga, ini adalah masalah bangsa. Jika masalah ini dibiarkan, maka generasi masa depan terancam tak terdidik. Bonus demografi yang selama ini digaungkan bisa berubah menjadi bom waktu untuk negeri ini.
Perlakuan negara pada perempuan dan anak-anak bangsa ini wajib berubah. Ketika negara berkomitmen berpihak pada perempuan maka efek masa depannya akan dahsyat. Ini adalah ikhtiar jangka panjang, hasilnya tak kasat mata, tak bisa langsung difoto, tapi layak untuk terus diperjuangkan dan kelak akan disyukuri hasilnya.
Gelar Keadilan, Hadirkan Kesempatan
Jika ingin membicarakan Indonesia yang maju dan adil di masa depan, maka kita perlu memfokuskan diri untuk meningkatkan kualitas manusianya. Menempatkan kesehatan, pendidikan, dan kebahagiaan setiap anak bangsa sebagai prioritas, bukan menjadikan manusia hanya sebagai salah satu komponen produksi.
Cara terbaik merancang kualitas manusia Indonesia adalah dengan memfokuskan diri pada generasi masa depan. Tugas negara adalah memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Itulah bentuk konkret menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita ingin mendorong tiga gagasan keadilan untuk menghadirkan kesempatan yang sama bagi generasi masa depan.
Pertama, keadilan pemenuhan gizi. Setiap anak di wilayah negeri ini berhak mendapatkan asupan gizi yang layak. Ini bukan hanya sekadar problem kesehatan, ini soal masa depan negeri ini. Maka, pendekatannya tak bisa sekadar programatik, ini kerja kolektif seluruh elemen negara.
Peran negara bukan sekadar menjadi administrator melainkan mengorkestrasi kolaborasi dengan semua elemen. Negara perlu rendah hati merangkul semua pemangku kepentingan khususnya para perempuan demi memenuhi hak pemenuhan gizi yang layak bagi anak-anak.
Ikhtiar ini sudah kami jalankan di Jakarta dengan Kartu Anak Jakarta (KAJ) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Pendekatan yang kami lakukan tak hanya berhenti pada bantuan sosial, melainkan melalui kolaborasi memenuhi kebutuhan gizi anak. Bersyukur upaya meningkatkan gizi melalui Pemberian Makanan Tambahan Untuk Anak Sekolah (PMTAS) yang kami lakukan berhasil menjangkau 200 ribu pelajar, khususnya di perkampungan pra-sejahtera.
Pemberian makanan tambahan mempertimbangkan asupan gizi yang sesuai untuk anak. Misalnya, kami tak ingin anak-anak mendapat asupan gula berlebih.
Negara ini menghadapi dua titik ekstrem kesehatan anak-anak. Di satu sisi angka stunting tinggi, di sisi lain obesitas menjadi momok bagi anak negeri ini. Kondisi itu jadi cermin buram belum tergelarnya keadilan gizi pada anak. Maka, tugas negara adalah memastikan setiap anak berhak dan mudah mendapatkan akses gizi yang seimbang.
Bukan hanya bicara dampak, kami memikirkan betul agar prosesnya kolaboratif. Kerap kali perempuan tidak dilibatkan dalam beragam inisiatif pembangunan, kami mengubah perspektif itu dengan menjadikan perempuan sebagai penggerak utama gerakan ini. Perempuan-perempuan di 600 lebih Komite Sekolah menjadi aktor penting dalam program ini, mulai dari merancang strategi sampai mengeksekusi gerakan meningkatkan asupan gizi.
Tak sekali dua kali kami menempatkan perempuan sebagai aktor penggerak. Pada saat pandemi, ibu-ibu penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) juga berperan sentral mulai dari pendataan bantuan untuk warga sampai mempercepat program vaksinasi. Kami jadi saksi, perempuan adalah sosok penggerak yang paling memahami lingkungannya.
Kedua, keadilan pendidikan untuk semua. Meningkatkan kualitas manusia adalah pekerjaan rumah terbesar negeri ini. Pendidikan adalah kunci untuk mengembangkan kualitas manusia Indonesia, eskalator sosial ekonomi bagi jutaan anak di tiap wilayah negeri ini.
Kerap kali kita menganggap “luar biasa” ketika seorang anak dari sudut negeri ini mencapai pendidikan tinggi. Kita perlu mengubah hal yang “luar biasa” itu menjadi “lumrah”. Mewujudkan kenormalan baru bahwa di mana pun lahirnya, dari mana pun asalnya, anak itu layak dan normal mendapatkan pendidikan tertinggi.
Kita ingin setiap anak tak hanya berhak mendapat kesempatan belajar 12 tahun. Negara perlu hadir sejak usia emas anak melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kita ingin memasifkan PAUD Inpres di tiap sudut negeri ini. PAUD Inpres adalah komitmen kami pada jutaan keluarga bahwa Republik ini setia menemani perjuangan seorang ibu mendidik buah hatinya sejak usia dini.
Saat memimpin ibukota, kami mewujudkan komitmen menyediakan pendidikan sejak usia dini sampai pendidikan tinggi. Mulai dari menghadirkan 167 PAUD negeri gratis, 900 ribu lebih penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, bantuan pendidikan masuk sekolah swasta, sampai lebih dari 14.000 penerima manfaat Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul. Semua itu adalah upaya menghadirkan kesempatan yang sama bagi setiap anak memperoleh pendidikan terbaik. Kami ingin negara hadir membuka kesempatan pada mereka yang lahir dalam “kesempitan”.
Ketiga, keadilan perlindungan untuk anak. Rasa aman merupakan hak dasar dan utama, semua anak berhak dipenuhi haknya mendapatkan rasa aman.
Sayangnya, lingkungan dan institusi pendidikan kita belum menjadi ruang yang aman bagi anak. Mimpi Ki Hadjar Dewantara menjadikan sekolah layaknya taman bermain yang membahagiakan anak-anak ternodai dengan banyaknya kasus kekerasan dan perundungan di sekolah.
Sejak lama perlindungan pada anak menjadi prioritas kami. Komitmen itu kami tuangkan saat mengemban amanah mengelola pendidikan melalui Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah.
Peran negara tak hanya melindungi anak secara fisik, tak kalah penting adalah kesehatan mental anak. Setiap anak di negeri ini layak untuk mendapatkan akses layanan kesehatan mental yang mudah. Bersyukur, selama di Jakarta, kami menyediakan puluhan psikolog gratis di Puskesmas.
Ini adalah komitmen kami bahwa negara harus bisa memenuhi hak anak mendapatkan rasa aman, termasuk hak anak difabel yang perlu mendapat perlakuan adil.
Ketika membicarakan anak-anak, kita ingin visinya tidak parsial. Mustahil membicarakan generasi masa depan tanpa memuliakan perempuan.
Berpihak Pada Perempuan
Salah satu janji kami di Jakarta adalah Memuliakan Perempuan. Kami menyebutnya janji bukan sekadar program karena janji berarti harus dilunasi. Keberpihakan pada perempuan dan anak kami tuangkan secara konkret menjadi Kegiatan Strategis Daerah. Ikhtiar itu Alhamdulillah kini telah tuntas.
Visi dan gagasan yang terus kami dorong adalah upaya memenuhi hak-hak perempuan, memuliakan posisi perempuan.
Pertama dan terutama, tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan. Negara harus berpihak seratus persen pada korban. Selama bertugas di Jakarta, kami tegaskan bahwa negara hadir dan melindungi termasuk aspek pembiayaannya, dari mulai pencegahan, respons, sampai rehabilitasi untuk perempuan korban kekerasan.
Buah konkret komitmen itu adalah layanan pelaporan kekerasan melalui Jakarta Siaga 112 yang terintegrasi dengan kepolisian, menyediakan lebih dari 300 gerai pelaporan di kantor pemerintahan, perguruan tinggi, dan transportasi publik. Korban kekerasan juga bisa memanfaatkan fasilitas 2 rumah aman dan pelayanan medis di 32 Rumah Sakit termasuk fasilitas visum gratis.
Yang kedua, tugas negara adalah menjamin keselamatan seorang ibu. Sudah terlalu banyak ibu dan bayi yang meninggal dunia dalam proses melahirkan. Menggendong buah hati adalah momen paling membahagiakan bagi seorang ibu, bayangkan betapa hancur hatinya ketika momen itu berganti dengan menguburkan sang buah hati.
Negara tak boleh lagi mempertaruhkan nyawa seorang ibu dan buah hatinya. Negara harus menjamin nyawa setiap ibu dan anak yang lahir dari rahimnya. Misi kami, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) harus diturunkan. Satu saja kematian ibu atau anak adalah angka yang terlalu besar dan tak bisa kita toleransi.
Komitmen kami berikutnya adalah menciptakan ekosistem yang memuliakan perempuan. Selama ini, seakan-akan tanggung jawab pengasuhan dan penyiapan masa depan anak-anak hanya disematkan pada pundak seorang perempuan. Persepsi itu jelas keliru, tanggung jawab mengembangkan kualitas generasi masa depan adalah kerja kolektif bersama, tidak hanya ibu, tapi juga ayah, lingkungan, bahkan negara.
Kita ingin memastikan semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintahan, sektor industri, sekaligus masyarakat berpihak pada perempuan.
Ikhtiar itu sudah kami jalankan di Jakarta melalui beberapa inisiatif. Dalam lingkungan pemerintah daerah, kami memulai langkah kebijakan cuti ayah selama satu bulan saat istrinya melahirkan. Kehadiran ayah diharapkan bisa mengoptimalkan masa penting pertumbuhan anak sekaligus mengurangi beban domestik perempuan.
Setiap tempat kerja harus menjadi ruang yang ramah bagi pekerja perempuan. Bagi ibu yang bekerja, tugas negara adalah menghadirkan ruang tumbuh kembang anak yang aman. Setelah mendengar aspirasi perempuan, kami mendorong penyediaan daycare (tempat penitipan anak) dimulai dari kantor-kantor pemerintahan dan pasar tradisional. Hak-hak perempuan mulai dari cuti hamil, cuti haid, bebas dari kekerasan, dan layanan pendukung seperti ruang laktasi wajib dipenuhi. Perempuan juga berhak mendapatkan upah setara, tak boleh ada lagi diskriminasi upah bagi pekerja perempuan.
Pada saat perempuan berkembang, maka semua masyarakat akan mendapatkan manfaat. Generasi penerus pun akan mendapatkan awal yang lebih baik dalam hidup. Negara ini perlu tegas berkomitmen menghasilkan kebijakan yang berempati dan berpihak pada perempuan.
Kepada para perempuan tangguh di negeri ini: Ibu rumah tangga, pekerja kantoran, pedagang kecil, mahasiswi, remaja putri, calon ibu, single parent, dan jutaan perempuan tangguh di sudut-sudut negeri ini izinkan kami membersamai perjuangan sunyi yang sudah perempuan jalani selama ini.
Ikhtiar kami negara ini tak boleh membiarkan perempuan berjuang sendirian. Ini memang jalan yang jarang diperhatikan, tapi akan terus kita perjuangkan sekuat-kuatnya, layaknya perjuangan seorang ibu demi masa depan buah hatinya.
By: Anies Rasyid Baswedan. (ut)