Connect with us

Ekonomi

Menjelang Keruntuhan Ekonomi Nasional

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Nanti setelah 15 pos di lembaga itu diisi oleh Partai Hijau (Parjo), maka selanjutnya Parjo akan bertambah pos di lembaga lainnya lagi. Setelah itu parlemen akan diisi dengan lebih banyak lagi oleh unsur Parjo, yang sebelumnya sudah dipersiapkan.

Namun biar tidak sama percis dan dianggap kembali seperti di masa Sang Mertuanya dahulu, mereka (Anggota Parlemen dari unsur Parjo) menjadi anggota parlemen tidak melalui pengangkatan oleh Presiden, melainkan dipilih oleh rakyat melalui Pemilu yang sudah “dikondisikan”.

Partai Coklat (Parcok) tentu sangat faham, bahwa kondisi yang seperti demikian itu tak jauh berbeda dengan situasi di era Pemerintahan Sang Mertua, Parcok tidak banyak mendapatkan ladang penghidupan yang cukup.

Oleh karena itu Parcok biar tetap mau mendukung, akan diberi lahan basah agar tidak terjadi kesenjangan pendapatan dengan Parjo. Parcok akhirnya akan diberi kewenenangan penuh, mengurusi masalah perburuhan koruptor, setelah sebelumnya Komisi Pemberantasan Kritikus dibubarkan.

Sementara itu situasi kebangkrutan perekonomian dalam negeri khususnya dan luar negeri umumnya, akan semakin dahsyat, kacau, gonjang ganjing. Kurs mata uang dalam negeri terhadap US Dollar akan melompat-lompat, seperti kodok yang dibawa Mukidi ke istana semasa periode pencitraan pertamanya.

PHK buruh/tenaga kerja semakin meluas di mana-mana. Pengangguran dan kriminalitaspun terjadi dan meluas dimana-mana, yang mengakibatkan penguasa menjadi semakin sensi dan baperan saat mendengar kritik dari rakyatnya.

Penahanan, penculikan serta pembunuhan aktivispun akan mulai kembali dicanangkan, seperti dahulu di masa menjelang Sang Mertua terjatuhkan dari kursi empuknya.

Para pendukung penguasa yang biasanya marah-marah tak jelas melihat orang lain bersikap kritis pada penguasa, mendadak bangkrut usahanya, mendadak ditinggal pergi gundik-gundiknya. Sedangkan yang lainnya, yang dari awal hidup pas-pasan namun sok jadi pembela penguasa, mendadak jadi kelaparan, lalu menjadi pemurung.

Kalau mereka diam saja akan bertambah kelaparan, usahanya semakin bangkrut dll. Akhirnya mereka kemudian tampil menjadi demonstran-demonstran baru, kritikus-kritikus baru, yang suaranya tidak kalah keras dan kencang dari demonstran-demonstran atau kritikus-kritikus yang sebelumnya dicaci makinya sendiri.

“Duuuh…siiiib…nasib, dukung Parjo jadi penguasa kirain akan bikin negeri jadi aman, damai, ekonomi maju dll. Eee…ternyata hasilnya kok sama saja bahkan lebih parah dari Mukidi yang sebelas dua belas dengannya”.

“Perbedanya Mukidi tukang tipu, tapi Pabroro ternyata hanya tukang omon-omon saja dan main angkat pejabat tak berkualitas. Pokoknya asal sesuka-suka hatinya saja. Siiiib…nasib”.

Begitulah rintihan abadi menggemuruh di hati mereka, para pendukung penguasa yang mulai melakukan pertaubatan nasuha, disaat rasa kecewanya memuncak bak puncak Gunung Everest. (tri)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement