Connect with us

Megapolitan

Pemilik Rekening Ini yang Bakal Diintip Ditjen Pajak

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memiliki kewenangan tambahan untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Pemilik rekening bank yang bisa diintip isinya oleh otoritas pajak pun dilarang bersekongkol untuk menutup akses tersebut.

Nominal pemilik rekening yang bisa diintip isinya oleh Ditjen Pajak ialah sebesar Rp 1 miliar, sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2018, yang menggantikan batasan sebelumnya dalam PMK 70/2017 sebesar Rp 200 juta.

Selain itu, dalam pasal 7 PMK tersebut disebutkan pihak lembaga jasa keuangan juga wajib menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk setiap Rekening Keuangan yang agregat saldo atau nilai rekening keuangannya melebihi US$ 250.000.

“Bank merupakan salah satu jenis lembaga keuangan pelapor informasi keuangan dan berkewajiban untuk melakukan identifikasi rekening keuangan (due diligence) serta melaporkannya kepada DJP seusai standar yang berlaku,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, Senin (12/8/2024).

Adapun pihak-pihak yang melakukan persekongkolan untuk menghalang-halangi Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan tersebut, akan kehilangan layanan pembukaan rekening baru hingga transaksi di perbank.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan ketentuan ini dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No. 70/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Dalam Pasal 10A PMK 47/2024 disebutkan bahwa lembaga keuangan pelapor dilarang untuk memberi layanan pembukaan rekening baru dan transaksi bagi nasabah yang menolak ketentuan identifikasi rekening keuangan dan dokumentasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PMK 70/2017.

“Lembaga keuangan pelapor tidak diperbolehkan melayani pembukaan Rekening Keuangan Baru bagi orang pribadi dan/atau entitas; atau transaksi baru terkait Rekening Keuangan bagi pemilik Rekening Keuangan Lama, yang menolak untuk mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,” tercantum dalam Pasal 10A PMK 47/2024 dikutip Jumat (9/8/2024).

Pasal 10A itu merujuk ketentuan Prosedur Identifikasi Rekening Keuangan dan Dokumentasi dalam Pasal 9 PMK 70/2017. Pasal 9 menyebut lembaga keuangan pelapor wajib melaksanakan prosedur identifikasi Rekening Keuangan yang dimiliki oleh orang pribadi atau entitas yang Negara Domisili dari orang pribadi atau entitas tersebut merupakan Yurisdiksi Asing.

Ayat 5 Pasal 9 juga menegaskan dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga keuangan pelapor yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dalam Bahasa Indonesia.

Sementara itu, dalam Pasal 10A PMK 47/2024, juga menekankan bahwa ketentuan larangan pemberian layanan buka rekening baru dan transaksi itu harus diterapkan lembaga keuangan sejak orang pribadi dan/atau entitas atau pemegang Rekening Keuangan Lama menolak untuk mematuhi ketentuan prosedur identifikasi.

Transaksi yang tidak boleh dilayani itu termasuk setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan. Selain itu pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi nasabah pasar modal, hingga penutupan polis baru.

Kegiatan transaksi lainnya juga termasuk dalam larangan ini bagi pemegang Rekening Keuangan Lama pada lembaga keuangan pelapor yang merupakan lembaga jasa keuangan (LJK) Lainnya dan/atau Entitas Lain.

Namun, ketentuan larangan itu tidak berlaku untuk transaksi pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pemilik Rekening Keuangan Lama dengan lembaga keuangan pelapor, penutupan rekening, atau pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain ketentuan itu, Pasal 30A PMK 47/2024 juga melarang setiap orang melakukan kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Setiap orang yang dilarang melakukan persekongkolan menutupi akses informasi perpajakan ke DJP itu termasuk lembaga jasa keuangan (LJK), LJK Lainnya; Entitas Lain; pimpinan dan/atau pegawai LJK; pimpinan dan/atau pegawai LJK lainnya; pimpinan dan/atau pegawai Entitas Lain; Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi; Pemegang Rekening Keuangan Entitas; penyedia jasa; perantara; dan/atau pihak lain.

Bila terjadi kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, berlaku ketentuan khusus.

Ketentuan itu ialah kesepakatan dan/atau praktik tersebut dianggap tidak berlaku dan/atau tidak terjadi; serta kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini tetap harus dipenuhi oleh setiap orang.

Direktur Jenderal Pajak pun memiliki wewenang baru dalam PMK itu untuk menentukan kesepakatan dan/atau praktik sebagai suatu kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

“Dan memperoleh informasi keuangan, termasuk keterangan dan/atau informasi lainnya, yang berkaitan dengan kesepakatan dan/atau praktik sebagaimana dimaksud,” dikutip dari PMK 47/2024. (utw)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement