Nasional
Pengkhianatan Terhadap Konstitusi, Benarkah Indonesia Masih Terjajah?
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Benarkah Indonesia masih terjajah dan banyak penghianat konstitusi? Kemerdekaan apa yang didapat rakyat setelah memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945?
“Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).”
“Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).”
DUA kalimat di atas adalah kutipan langsung, dengan penyesuaian ejaan, naskah awal Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Diterbitkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 pada 15 Februari 1946, penjelasan ini kemudian menjadi bagian resmi konstitusi Indonesia. Sejak amendemen pada 1999-2002, bagian dalam penjelasan tersebut dihapus, tapi semua gagasannya menyerap ke dalam pasal-pasal konstitusi kita.
Dari Penjelasan UUD 1945 itu kita tahu gagasan besar membangun Indonesia. Para pendiri republik ini sadar sejak awal bahwa konstitusi dibuat untuk membatasi kekuasaan. Pemikiran ini mendapat pengaruh besar dari masa pencerahan (Aufklarung) di Eropa, tanah yang menggembleng para pendiri bangsa kita lewat pendidikan Belanda.
Waktu itu gagasan membatasi kekuasaan dibuat untuk melawan kekuasaan yang membabi-buta. Di masa kolonialisme, penguasa tanpa segan memperkaya diri di atas penderitaan rakyat jelata. Untuk alasan itu para pendiri Indonesia membangun konstitusi yang membatasi kekuasaan dengan aturan main yang disepakati bersama. Kita menyebutnya konstitusionalisme.
Karena itu, jelas konstitusi bukan sekadar teks kumpulan pasal yang bisa diubah semau penguasa untuk kepentingan politik mereka. Konstitusi adalah pernyataan tertulis tentang jalan politik sebuah bangsa. Salah satunya dalam membatasi kekuasaan, yang menjadi pedoman bersama mengatur kehidupan orang banyak.
Agaknya para penguasa dan aktor politik kita hari ini melupakan bagian penting sejarah mengapa dulu para pendiri Indonesia membuat konstitusi. Gagasan menunda pemilihan umum sebagai jalan tengah keinginan menambah periode kekuasaan presiden adalah dua gagasan yang tak hanya mengkhianati semangat Reformasi 1998, juga pengkhianatan lebih mendasar karena keluar dari konstitusionalisme.
Jika konstitusi dipandang semata teks, tak sulit mengubah UUD 1945. Pasal 37 yang mengatur perubahan konstitusi mensyaratkan dukungan sepertiga dari total jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri atas 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rapat menjadi sah jika dihadiri minimal dua pertiga anggota MPR dan keputusan valid jika mendapat persetujuan lebih dari setengah jumlah yang hadir. Ketentuan ini bahkan lebih longgar daripada proses pembuatan undang-undang, yang mensyaratkan adanya partisipasi dan keterbukaan.
Apalagi lebih dari 80 persen anggota DPR berada dalam satu koalisi besar bersama pemerintah. Sementara itu, kita juga melihat proses pembuatan undang-undang selama ini dijalankan secara ugal-ugalan. Jangankan suara kawula negeri, anggota DPR yang tidak bersepakat dengan kemauan penguasa saja sering kali tidak didengar, bahkan secara harfiah, pemimpin sidang mematikan pengeras suara mereka di dalam ruang sidang.
Gagasan menunda pemilihan umum juga mudah saja. Anggota MPR/DPR hanya perlu mengubah satu pasal, yakni pasal 22E, yang menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jika presiden ingin menambah kekuasaan, ia juga tinggal meminta koalisi partainya mengubah pasal 7, yang mengatur masa jabatan presiden selama lima tahun dan hanya bisa dipilih satu kali lagi.
Tapi politik dan konstitusi bukan matematika, apalagi sekadar permainan bahasa. Politik seharusnya memakai dasar ideal-ideal tentang bagaimana menjalankan sebuah negara. Suatu negara bisa dikatakan demokratis bila pemilu dilakukan secara rutin. Rutinitas ini harus karena demokrasi membutuhkan penggantian kepemimpinan. Kepemimpinan bukan sekadar siapa, tapi tentang ruang-ruang politik dan penyelenggaraan kekuasaan yang diperbarui secara berkala. Sebab, demokrasi tak hanya membicarakan seorang presiden, tapi keseluruhan jaringan kekuasaan yang berkelindan di sekitarnya.
Sebab, dalam demokrasi yang stagnan dengan pemegang kekuasaan yang sama akan menyebabkan segala sesuatu yang hidup di dalamnya tidak bertumbuh. Seperti hukum alam, demokrasi butuh dinamika serupa hidup yang membutuhkan denyut jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dalam demokrasi yang stagnan, mereka yang punya kekuasaan akan terdorong memperbesar keuntungan karena tak lagi punya hasrat untuk berkompetisi.
Sayangnya, para elite politik kita belakangan ini tak malu-malu mencari alasan-alasan yang tak masuk akal untuk mencederai hukum alam demokrasi itu. Alasan biaya pemilu yang terlalu besar sementara pemulihan ekonomi akibat pandemi masih tak menentu adalah argumen yang mengesampingkan keputusan politik memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota jelas membutuhkan biaya yang jauh lebih besar ketimbang menyelenggarakan Pemilu 2024.
Alasan lain yang mengacu ke banyak negara yang memundurkan jadwal pemilu karena pandemi juga dalih yang dicari-cari. Memang, ada 80 negara yang menunda pemilu, tapi 160 negara lain tetap melaksanakannya sesuai dengan jadwal. Negara-negara yang menunda pemilu juga segera melaksanakannya hingga Februari 2022. Sementara itu, elite politik Indonesia hendak menunda pemilu yang akan berlangsung dua tahun lagi. Jangan lupa, Indonesia pernah memaksakan pemilu kepala daerah pada akhir 2020 ketika angka infeksi Covid-19 justru sedang tinggi.
Tak cukup dengan dalih yang mengada-ada, para pendukung penundaan pemilu mencoba melegitimasinya melalui survei. Kita tahu survei bukan penanda legitimasi politik karena ia hanya memotret persepsi yang bisa difabrikasi melalui kampanye, media, dan teknologi informasi. Apalagi lembaga-lembaga survei kita selalu menyembunyikan pemodal mereka. Lebih dari itu, dalam demokrasi, popularitas seorang pemimpin bukan ukuran. Dalam demokrasi yang sehat ukurannya adalah kepatuhan pada aturan main, pada konstitusi.
Para elite politik Indonesia yang mendukung gagasan menunda pemilu harus belajar pada sejarah. Menunda pemilu karena perhitungan politik untuk melanggengkan kekuasaan hanya berujung pada kekacauan. Lihatlah Presiden Sukarno ketika ia memundurkan jadwal Pemilu 1959 dengan alasan keamanan. Untuk mengisi kekosongan anggota DPR, Sukarno membentuk DPR sementara, yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Faktanya, pemilu yang ditunda itu tak pernah terjadi hingga Sukarno jatuh.
Atau pergantian presiden yang dijadwalkan pada 1968 tapi diundur ke 1971. Pengunduran karena penguasa cemas akan kekuatan politik Sukarno yang masih kuat membuat rekayasa demokrasi berujung pada penundaan pemilu periode berikutnya. Ketagihan penguasa pada rekayasa pemilu berlangsung selama 32 tahun sepanjang kekuasaan Orde Baru.
Walhasil, diskusi tentang penundaan pemilu tak layak mendapat tempat. Para elite serta para intelektual tukang yang tengah mencari justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan seharusnya malu mendaku sebagai pemimpin, pemikir, dan praktisi politik. Sebab, apa yang mereka lakukan sesungguhnya pelanggaran terhadap konstitusi, pengkhianatan pada cita-cita mulia membangun Indonesia yang terhormat dan beradab. (tri)