Connect with us

Nasional

Publisher Right Platform Digital yang Diajukan Pemerintah Sepatutnya Ditolak Masyarakat Pers

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Rapat koordinasi pembahasan draf Peraturan Presiden (Perpres) terkait publisher right platform digital yang dihadiri oleh anggota Dewan Pers, para wakil konstituen Dewan Pers, unsur perwakilan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemkopolhukam).

Serta wakil Sekretariat Negara pada 15 Pebuari lalu berlangsung ricuh. Belum masuk ke pokok perkara, rapat sudah gaduh dan terpaksa dihentikan untuk ditunda.

Konsep publisher right platform digital sendiri, sebenarnya, belum pernah dibahas secara tuntas di masyarakat pers, dan masih cenderung menjadi pemikiran personal.

Draf konsep publisher right platform digital tiba-tiba disodorkan ke pemerintah oleh beberapa personal Dewan Pers priode yang lalu. Meski telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers saat itu, M. Nuh, sejatinya, beberapa anggota Dewan Pers yang lalu sendiri mengaku konsep itu belum disahkan dalam rapat pleno.

Detailnya belum dibahas. Hanya pada waktu injure time peralihan dari anggota Dewan Pers lama ke Dewan Pers baru, draf itu tiba-tiba sudah “disorong” ke pemerintah sebagai gagasan Dewan Pers.

Saya secara personal, sudah sejak awal menegaskan untuk berhati-hati menerapkan draf konsep publisher right platform digital tersebut. Belakangan bahkan saya lebih jauh lagi tegas menolak draf publisher right platform digital itu.

Secara terbuka saya mengajnurkan kepada para wartawan senior untuk menolak konsep ini diatur dan ditetapkan oleh pemerinah khususnya melalui Perpers.

*Mengundang Pemerintah Mengatur Pers*

UU Pers No 40 Tahun 1999 merupakan buah reformasi yang sampai kini masih murni. Dalam UU Pers sudah jelas, pemerintah tidak diberi ruang untuk ikut campur dalam urusan pers. Pengalaman telah membuktikan, jika pemerintah (siapapun) diberi kesempatan untuk ikut mengatur pers, betapapun kecilnya, maka kesempatan itu sudah pasti dimanfaatkan untuk menanamkan pengaruh pemerintah kepada pers. Sejarah telah membuktikan hal itu.

Dengan demikian jelas, permintaan sebagian anggota pers agar pemerintah ikut campur lagi dalam urusan pers melalui publisher right platform digital merupakan kemunduran nyata dan mendasar dari prinsip independensi pers dari campur tangan pemerintah. Langkah itu merupakan bentuk nyata penghianatan terhadap swaregulasi dalam UU Pers.

Memang konsep publisher right platform digital bukan dari pemerintah, namun begitu pemerintah disodorkan draf ini, tak heran jika pemerintah langsung “menyambar” kesempatan ini. Seperti botol mendapat tutupnya.

*Tak Ada Dasar UU Pers*
Tak ada satupun pasal atau ayat dalam UU Pers yang memberikan pintu masuk pemerintah untuk ikut campur memgatur pers, termasuk dalam bidang administrasi dan korporasi pers. UU Pers hanya memberikan satu ketentuan yang memungkinkan pemerintah mengeluarkan Kepres, yaitu soal pengakatan anggota Dewan Pers.

Itu pun presiden sebagai kepada pemerintahan. Itu pun presiden tidak memiliki kewernangan memilih melainkan hanya mengesahkan. Selebihnya semua pintu tertutup.

Dari mana dasar dan cantolan pemerintah mau mengeluarkan Perpers publisher right platform digital di UU Pers?! Tak ada. Tak ada sama sekali. Jadi peraturan pemeringah soal publisher right platform digital sama sekali tidak berdasarkan UU Pers.

Bahkan peraturan pemerinta itu jelas-jelas bertabrakan dengan prinsip-prinsip UU Pers. Saya tentu tidak faham jika pemerintah memakai cantolanya dari langit ke tujuh. Tidak faham juga kalau pemerintah memang nekat tidak mau menghormati UU Pers.

*Memberi Kepala untuk Dipenggal*
Ada yang berdalih, publisher right platform digital hanya mengatur soal perusahaan pers. Bisnis pers saja. Bukan soal pemberitaan. Tak ada sangkut pautnya dengan pemberitaaan! Logika ini logika “konyol” dan “anhistorikal.” Sebuah logika sesat. Kenapa?

Pertama, dalam UU Pers sama sekali tidak dipisahkan mana aspek pemberitan mana aspek perusahaan. Keduanya dianggap satu kesatuan yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Menganggap pemerintah hanya boleh mencampuri ranah bisnis atau perusahaan pers tetapi tidak boleh mengatur soal pemerintahan, merupakan sudut pandang yang tidak total sehingga sampai pula kepada kesimpulan yang tidak total.

Mencampuri bianis pers secara tidak langsung juga mencampuri urusan pers secara keseluruhan. Omong kosong mencampuri perkara perusahaan pers tidak bakalan mencampuri urusan pemberitaan pers.

Kedua, sejarah sudah membuktikan, pengaturan yang bersifat administratif saja, akhirnya menjadi alat pemerintah untuk membelengu pers. Contohnya, SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Sejak awal, dulu pemerintah bilang, SIUPP ini hanya soal administrasi saja, tak terkait sama sekali dengan pemberitaan. Kenyataan SIUPP justeru menjadi senjata ampuh pemerintah Orde Baru untuk menindas pers. SIUPP menjadi komonitas politik dengan harga mahal.

Ketiga, kalau pemerintah diberikan kesempatan membuat regulasi soal publisher right platform digital, masyarakat pers jangan lugu. Harus diingat, agar dapat operasional regulasi tentang publisher right platform digital pasti harus pula diikuti dengan perbagai peraturan pelaksanaan lainnya. Nah, dari sana menjadi semakin terbuka kemungkinan ada peraturan pemerintah yang tidak sesui dengan jiwa UU Pers.

Selain itu, keempat, perlu difahami konsep publisher right platform digital dibuat belum berdasarkan suatu riset yang mendalam mengenai apa masalah keperluan mayoritas pers online. Belum diteliti bagaimana seandainya publisher right platform digital diterapkan, apa untung ruginya buat pers digital Indonesia. Dasarnya baru pada asumsi-asumsi belaka

“Jika publisher right platform digital diterapkan, maka 80% pers digital yang merupakan star up, akan mengalami persoalan,” kata seorang pengurus perusahaan pers online.

Konsep publisher right platform digital belum menggali kemungkinan kerugian apa saja yang bakal diderita digital. Keinginan menjadi nafas “kesinambungan” hidup pers malah dapat menjadi bumerang berubah menjadi mata pedang yang siap menusuk ke tubuh pers.

Meminta pemerintah masuk ikut mengatur regulasi tentang pers, bagaikan memberikan leher pers untuk dipenggal oleh pemerintah.

Karya pers on line atau digital Indonesia banyak yang disebarluaskan atau ditayangkan oleh platform digital asing, seperti terutama tetapi tidak terbatas pada geogle dan yang sejenis. Padahal mereka tidak membayar apapun kepada pers Indonesia.

Maka, demikian pemikiran penyusun konsep publisher right platform digital , mereka ke depan harus dipungut bayaran. Mereka harus membayar setiap penayangan karya-karya perusahaan pers digital. Hal ini karena perusahaan pers Indonesia mempunyai hak (cipta) terhadap karyanya. Jadi tak dapat sembarangan disebarluas. Perusahaan manapun yang mau menyebarkan harus bayar.

Selintas konsep ini menarik dan bagus. Konsep ini seakan memberikan angin segar terhadap perlindungan finansial perusahaan pers Indonesia. Nanun jika didalami lebih lanjut, penerapan publisher right platform digital pada eko sistem pers digital Indonesia justeru dapat berdampak negatif terhadap kehidupan pers digital Indonesia.

Pertama, jika konsep publisher right platform digital benar-benar diterapkan, pihak asing kemungkinan tidak menolak. Tapi mereka menuntut adanya keadilan. Kira-kira, “kalau gue ngambil punya loe bayar, sebaliknya loe kalau ngambil punya gue , juga harus bayar!.”

Inilah yang dalam kaedah hukum atau kontrak sosial disebut dengan istilah reprositas. Asas timbal balik. Nah sekarang kita hitung-hitungan, apakah penerapan asas ini saat ini lebjh menguntungkan pers kita, atau malah juateru merugikan.

Secara jujur harus kita akui, kemampuan pers online atau digital Indonesia menghasilkan berita yang menarik dan bermutu masih sangat lemah. Saaat ini, hanpir 80% pers digital kita masih mengandalkan konten dari platform seperti geole. Ini artinya, kalau konsep publisher right platform digital pers 80% pers digital Indonesia yang selama ini masih gratis menikmati informasi dari platform asing kelak harus membayar kepada mereka. Sudah sanggupkah?

Perusahaan-perusahaan pers digital atau on line kita sekitar 85% masih “ngos-ngosan” dan tidak sehat secara ekonomis. Pada umumnya perusahaan pers digital atau on line Indonesia , adalah perusahaan-perusahaan yang belum mapan. Perusahaan-perudahaan yang untuk survive saja masih setengah mati. Tak heran sebagian besar wartawannya malah tidak digaji. Penulis luar pihak ketiga pun yang tulisannya dibuat masih diperlakukan dengan gratis.

Nah, jika asas reprositas dalam konsep publisher right platform digital dilaksanakan, kemungkinan, bukan saja sebagian besar tidak sanggup membayar, tetapi juga bakalan rontok satu persatu. Tak ada sama sekali sinar “kesinambungan” hidup untuk pers digital yang digembar-gemborkan dari kehadiran konsep publisher right platform digital.

Justeru yang ada malah muncul tanda-tanda kematian.
Selama ini yang terjadi justeru sebaliknya. Berita atau informasi dari perusahaan online di Indonesia yang kecil-kecil itu penyebaran sangat terbatas.

Jangankan tingkat internasional, pada tingkat nasional saja tak dikenal. Setelah disebarkan oleh platform asing, justeru viewer atau pembacanya menjadi jauh tambah besar. Dan mereka pun sebagai memperoleh hak royalti dari pembaca plafform asing yang diatur oleh perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, platform perusahaan asing itu tidak gratis-gratis amat.

*Pembatasan UU Hak Cipta*
Selain UU Pers, perlu juga diingat ada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU ini semua hasil ciptaan yang sudah diwujudkan dilindungi. Karya-karya itu dilindungi hak ciptanya. Meski demikian, dalam Bab VI UU Hak Cipta ada pembatasan perlindungan hak cipta. Saya beberapa kali tampil jadi ahli pers di pengadilan terkait dengan persoal hak cipta di bidang pers. Pendapat saya tegas: mengutip atau mengambil informasi dari pers lain, diperbolehkan, dan bukan merupakan pelanggaran hak cipta.

Saya merujuk kepada pasal 43 UU Hak Cipta yang dengan tegas menyebut ada perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pembatasan itu antara lain terdapat pada pasal 43 huruf c yang menegaskan “*Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; “

Dengan demikian dalam kehidupan demokrasi, UU Hak Cipta sudah menegaskan tidak ada royalti untuk penyebaran berita asal sesuai UU Hak Cipta. Pendapat saya umumnya diperhatikan pihak pengadilan. Tentu beda untuk karya cipta yang lain seperti film dan sebagainya.

Penerapan pembayaran untuk pers selain sejak awal tidak sesuai dengan mekanisme tradisi dan kemerdekaan pers, juga bertentangan dengan UU Hak Cipta. Jika publisher right platform digital diterapkan juga bakal bertabrakan dengan ketentuan UU Hak Cipta soal kebebasan pers mengutip informasi dari sumber lain.

*Cabut, dan Pakai Peraturan Dewan Pers*
Cara pemerintah melakukan treament terhadap racangan publisher right platform digital juga sudah menunjukkan gejala awal, pemerintah ingin mengambil peran besar dalam regulasi soal ini. Memang kalau Perpera sih itu ranah dan otoritas pemerintah. Namun ini kan sudah menyangkut pers. Seharunya Dewan Pers sebagai representasi masyarakat pers mengingatkan pemerintah tak mengambil peran Dewan Pers yang memfasilitasi peraturan-peraturan di bidang pers. Dalam kontek ini Dewan Pers terkesan cenderung belum siap mengantisiapssi pembuatan regulasi ini dan peluang ini diambil dengan sangat baik dan manis oleh pemerintah. Mana ada pemerintah yang mau menolak menerima “setengah nyawa” dari pers diserahkan kepada pemerintah.

Dari segi subtansi, konsep publisher right platform digital lebih banyak merugikan pers Indonesia ketimbang keuntungannya. Lebih banyak mudaratnya ketimbang kemanfaatannya. Maka konsep publisher right platform digital memang sudah layak ditolak.

*Solusi*
Ada bebberapa usulan menghadapi hal ini.
Pertama, tunda pengeluaran regulasi soal konsep publisher right platform digital dalam semua bentuknya. Ketimbang bikin gaduh, lebih baik ditelaah dulu secara lebih seksama.
Kedua, buka semua isi konsep publisher right platform digital ke masyarakat pers. Jangan ada dusta di antara kita. Jangan hanya ”elite” pers maupun pemerintah saja yang mengetahui isinya. Selama ini alur subtansi publisher right platform digital terasa misterius seperti kerja agen rahasia. Kebiasan yang terjadi pada orde baru itu perlu ditinggalkan. Buka saja seluruh isinya tanpa harus takut.

Toh tak ada rahasia negara. Jangan percaya satu dua orang yang sudah mengatasnamakan masyarakat pers.
Ketiga, sosialiasasikan dulu isi publisher right platform digital tersebut, sehingga sebanyak mungkin masyarakat pers lebih memahami apa isinya.

Keempat, libatkan sebabyak mungkin masyarakat pers untuk berpartisipasi memberikan saran, kritik dan usulan terhadap draf publisher right platform digital. Darisana barulah dirumuskan untuk kepentingan bersama, kalau memang masih diperlukan publisher right platform digital.

Seandainya mayoritas masyarakat pers merasa tidak memerlukan, ya sudah tanggalkan. Berikutnya kelima, sebaiknya urusan ini tidak lagi ditangani oleh pemerintah. Walaupun pemerintan mungkin berniat baik, tapi keterlibatan pemerintah dalam dunia pers tetap bakal menimbulkan kegaduhan. Pemerintah bakal memghadapi sejumlah tudingan yang intinya dinilai mau turut campur urusan pers lagi.

Berikan sepenuhnya urusan ini kepada Dewan Pers. Biarlah Dewan Pers bersama masyarakat pers yang menentukan apakah sudah saatnya publisher right platform digital diterapkan, atau belum. Jika belum tentu tak dapat dilanjutkan.

Sebaliknya jika masyarakat pers memandang publisher right platform digital dengan isi yang telah direvisi dan mewakili aspirasi masyarakat pers sudah dibutuhkan, dapat dibuat melalui Peratusan Dewan Pers sebagaimana telah diatur dalam pasal 15 ayat 2 huruf “f ” UU Pers. Disitu disebut salah satu tugas Dewan Pers adalah memfasilitasi pembuatan peraturan pers. (ut)

Hukum

Fakta Harvey Moeis, Suami Sandra Dewi Tersangka Korupsi Komoditas Timah

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan tersangka kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Terbaru, suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi tersangka kasus ini.

Pada Kamis (28/3/2024), kasus korupsi komoditas timah ini sudah menjerat 16 tersangka termasuk Harvey dan ‘crazy rich’ Helena Lim. Perkara ini diduga terjadi dalam kurun periode 2015-2022.

Berikut fakta-fakta soal Harvey Moeis jadi tersangka:

1. Pakai rompi pink dan langsung ditahan

Pantauan detikcom di Gedung Kartika Jampidmil Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3), Harvey keluar mengenakan rompi tahanan berwarna merah jambu (pink). Dia tampak memakai masker putih.

Dikawal oleh petugas keamanan Kejagung, Harvey kemudian langsung digiring petugas Kejagung ke mobil tahanan. Setelah Harvey dibawa oleh mobil tahanan, pihak Kejagung menggelar konferensi pers terkait penetapan tersangka ini.

Kejagung mengatakan Harvey langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).

“Untuk kepentingan penyidikan yang bersangkutan dilakukan tindakan penahanan di Rutan Salemba Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk 20 hari ke depan,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3) malam.

2. Kasus yang Jerat Harvey Moeis

Kasus yang menjerat Harvey Moeis sebagai tersangka sama dengan kasus yang menjerat ‘crazy rich’ Helena Lim. Dia diduga terlibat kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022.

“Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif, tim penyidik memandang telah cukup alat bukti, sehingga yang bersangkutan kita tingkatkan statusnya sebagai tersangka, yaitu saudara HM, selaku perpanjangan tangan dari PT RBT,” ujar Kuntadi.

3. Tersangka ke-16 dan dugaan perannya

Kuntadi mengatakan Harvey jadi tersangka dalam perannya sebagai selaku perpanjangan tangan dari PT RBT. Harvey disebut pernah menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021, MRPT alias RZ.

“Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara MRPT atau Saudara RZ dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah,” ucap Kuntadi.

“Yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT,” tambahnya.

Sebagaimana diketahui, MRPT juga telah ditetapkan tersangka lebih dahulu oleh Kejagung di kasus yang sama. Kuntadi menyebut, usai komunikasi itu, Harvey melakukan pertemuan dengan RZ. Hasil pertemuan itu disepakati kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut adanya dibalut dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

“Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud,” tambah dia.

Selanjutnya, tersangka Harvey meminta para pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan itu, kata Kuntadi, kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim (HLN), yang sudah menjadi tersangka.

Ada pun Harvey merupakan tersangka ke-16 dalam kasus ini. Atas perbuatannya, Harvey diduga melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

4. Kaitan Harvey Moeis dengan Helena Lim
Kejagung menuturkan peran Harvey Moeis berkaitan dengan peran Helena Lim dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015-2022. Kejagung menyebut Harvey menerima uang-uang dari perusahaan swasta yang terlibat pengakomodiran kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Uang dari perusahaan-perusahaan swasta tersebut diterima Harvey, melalui PT QSE. Pihak dari PT QSE yang memfasilitasi aliran dana tersebut adalah Helena Lim, sang manager.

Kejagung menyebut Harvey memberi instruksi agar perusahaan-perusahaan pemilik smelter menyisihkan keuntungan dari penjualan bijih timah yang dibeli PT Timah Tbk. Dana yang terkumpul, sebut Kejagung, lalu dinikmati Harvey dan para tersangka lainnya.

“Tersangka HM menginstruksikan kepada para pemilik smelter tersebut untuk mengeluarkan keuntungan bagi tersangka sendiri, maupun para tersangka lain yang telah ditahan sebelumnya, dengan dalih dana corporate social responsibility (CSR) kepada tersangka HM melalui PT QSE yang difasilitasi oleh Tersangka HLN (Helena Lim),” kata Kuntadi.

5. Duduk Perkara
Awalnya, pada 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018 bersama Tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.

Atas kondisi tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE, yang seharusnya menindak kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.

Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.

Pasal yang disangkakan kepada tersangka adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Total sudah ada 16 tersangka kasus korupsi yang ditahan dalam kasus ini. Berikut rinciannya:

1. SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2. MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
3. HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik Tersangka TN alias AN)
4. MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021
5. EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018
6. BY selaku Mantan Komisaris CV VIP
7. RI selaku Direktur Utama PT SBS
8. TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN
9. AA selaku Manajer Operasional tambang CV VIP
10. TT, Tersangka kasus perintangan penyidikan perkara
11. RL, General Manager PT TIN
12. SP selaku Direktur Utama PT RBT
13. RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
14. ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 s/d 2020 PT Timah Tbk.
15. Helena Lim selaku manager PT QSE
16. Harvey Moeis Perpanjangan tangan PT RBT

Harvey Moeis Hanyalah Bagian dari Kelompok Kejahatan Besar ini, siapa Dalang Aktornya?

2012-2017 dengan Harvey, sebetulnya sama posisinya saat itu. Cuma simbol, cuma cover.
Lebih berperan sebagai tukang bawa tas bosnya.

Cuma bedanya Harvey berbalut kulit dan ras dari golongan mereka, sehingga Privilegenya lebih.

Maka gandengan dia sekelas Sandra Dewi, tinggal di apartemen Permata Hijau. Kalo pendapan dan penghasilan sih 11 12 saja.. cuma beda style dan beda tongkrongan saja.

Bombastis pemberitaan di Televisi bahwa Harvey kaya raya, pengusaha sukses dan tajir melintir.

Untungnya sang istri tahu diri, jarang sekali kulihat flexing di status WA, IG, atau sosmed lainnya. Bagus, dan salut buat Sandra Dewi. Dia sadar bahwa Jet Pribadi, pernikahan mewah, kekayaan lainnya adalah “titipan” yang sebenarnya titipan. Lihat gaya bicara Sandra Dewi, kalem dan gak terkesan sombong. Ya memang bukan punyanya dan bukan punya suaminya, hanya atas nama dan namanya dipake saja utk cover.

Selain bekerja, HM ada usaha lain yang bagus juga. Cuma ya gak bisa kalo sampe beli jet pribadi. Jet itu atas nama saja yang sebenarnya ada di belakangnya.

Jadi, kasus korupsi PT Timah yang kata berita merugikan negara Trilyunan rupiah kalo mau diusut tuntas selain Harvey yang digelandang ke prodeo juga yang ada di belakangnya. Inisial pengusaha dengan 3 huruf saat ini sedang kuat-kuatnya dengan kekayaan mungkin sdh menggeser anggota 9 Naga lain menjadi cacing.

Kalo pemerintah tidak ada keberanian, Harvey hanya yang jadi tumbal. Setelah itu, tidak lama lagi juga akan bebas.

Bukankan begitu Republik konoh saat ini?
Kapan negara ini bisa diurus dengan serius? (tw)

Continue Reading

Hukum

Kuasa Hukum Timnas AMIN Ingin Hadirkan Sri Mulyani dan Rismaharini Jadi Saksi, Beranikah 2 Menteri Jokowi itu?

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Ketua Tim Hukum Timnas AMIN, Ari Yusuf Amir menyebut pihaknya ingin menghadirkan beberapa menteri kabinet sebagai saksi pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, kata Ari, pihaknya menunggu keputusan dari Majelis Hakim Konstitusi diperbolehkan atau tidaknya beberapa menteri tersebut dalam persidangan.

Nanti pada waktunya kami akan mengajukan kepada majelis konstitusi untuk menghadirkan beberapa pejabat-pejabat yang kami mintakan nanti. Tapi itu keputusannya kepada majelis nanti menerima atau tidak. Karena kami tidak punya kemampuan untuk menghadirkan menteri-menteri tersebut, kata Ari di Gedung MK, Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Menurut Ari, kehadiran beberapa menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Sosial Tri Rismaharini dapat menjadi titik terang bagi Hakim Konstitusi.

Sebenarnya biang kerok dari kekacauan negara ini selama 10 tahun terakhir adalah Jokowi dan antek-anteknya, sanggupkah rakyat Indonesia menyeretnya untuk dimakzulkan? (tri)

Continue Reading

Hukum

Kejagung Tetapkan Crazy Rich PIK Helena Lim Sebagai Tersangka Kasus Korupsi Tata Niaga Timah

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan Helena Lim selaku Manajer PT QSE sebagai tersangka perkara dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Kuntadi, di Jakarta, Selasa (26/3) mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan dan dikaitkan dengan alat bukti yang cukup, tim penyidik telah menaikkan status satu orang saksi menjadi tersangka yakni HLN (Helena Lim selaku Manajer PT QSE.

Menurut Kuntadi, perbuatan (tindak pidana) dilakukan dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter dengan dalih menerima atau menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR).

“Sejatinya menguntungkan diri tersangka sendiri dan para tersangka yang telah dilakukan penahanan sebelumnya,” katanya di Jakarta, (26/3/2024). (tw)

Continue Reading
Advertisement

Trending