Connect with us

Peristiwa

Rakyat Masih Mengais Kemerdekaan Hidup Miskinnya di tengah Rejim Korup Saat Ini

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tepat tanggal itulah mimpi rakyat Indonesia tercapai. Setelah menelusuri perjalanan yang panjang, rakyat Indonesia mampu bersatu mengusir penjajahan dari tanah air.

Karena itulah, memori Hari Kemerdekaan ini tidak akan pernah terlupakan dari benak rakyat Indonesia sampai saat ini. Setiap tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, rakyat Indonesia selalu merayakannya dengan upacara pengibaran bendera merah putih dan acara seru di lingkungan sekitar. 

Selain itu, acara HUT RI ini juga diperingati untuk mengingat kembali perjuangan pahlawan yang telah gugur di medan perang. Nah, perjuangan tersebut kini dilanjutkan oleh generasi muda untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang sudah diraih dengan susah payah melalui perjuangan para pahlawan yang sudah mempertaruhkan jiwa dan raganya.

REPORTASEINDONESIA.COM MENGUCAPKAN DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA ke-78

RAKYAT MISKIN YANG BELUM MERDEKA DITENGAH REJIM KORUP SAAT INI

Tujuh puluh lima tahun sudah kita merdeka. Bukan usia yang muda untuk suatu negara dan perjalanannya. Berbagai peristiwa mewarnai dinamikanya, politik, hukum, sosial budaya, dan semua aspek bernegara yang niscaya.

Saat ini, berbarengan dengan pandemi covid-19 yang sedang melanda, kita merayakan Hari Kemerdekaan. Tentu dengan suasana berbeda dari tahun sebelumnya, meskipun tetap sarat makna.

Di antara masalah yang ada, korupsi masih saja sangat menyeruak dan menyisakan kekecewaan dalam penanganannya.

Meskipun telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan, dibantu kepolisian serta kejaksaan yang kita percaya sebagai pihak yang menanganinya, hasilnya tetap saja masih jauh dari harapan. Korupsi seperti sangat sulit diberantas. Kasus-kasus beberapa dekade yang lalu juga masih menitipkan perkara yang belum tuntas, ditambah korupsi yang baru muncul dan muncul lagi.

Tujuh belasan kali ini, marilah kita gunakan untuk merenungkan bagaimana cara kita memberantas korupsi dan pencegahan yang harus dilakukan.

Penerapan Undang-undang (UU) Antikorupsi dan UU KPK seharusnya sudah sangat jelas. Namun, UU Anti-Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai jawaban untuk berbagai kegagalan dalam pengembalian kerugian negara masih menjadi pekerjaan rumah, serta utang yang harus dibayar dengan penegakan hukum.

Bagaimanapun kita tidak boleh hanya puas dengan pemenjaraan yang kadang juga menyakiti rasa keadilan masyarakat. Betapa tidak? Maling-maling kecil karena lapar dipidana keras, sedangkan perampok uang negara yang besar dipidana ringan. Bahkan, ada yang hanya dipidana dua tahun padahal kerugian negara mencapai ratusan miliar.

Tentu keadaan ini tidak cocok dengan rasa “kemerdekaan” saat ini. Rakyat kecil masih merasa ada diskriminasi. Hukum masih terasa tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. 

Beleid Anti-TPPU
Lalu, bagaimana sebaiknya, terlepas dari hukuman yang terkadang dianggap masih terlalu ringan untuk koruptor? Ada yang harus segera dibenahi dan dikuatkan dalam penanganan perkara korupsi, yaitu penerapan UU Anti-TPPU.

Sampai akhir 2019 saja, KPK hanya menerapkannya pada kisaran 5% dari keseluruhan perkara korupsi, yaitu hanya 15 kasus. Kemungkinan kejaksaan dan kepolisian kurang lebih sama.

Banyaknya perkara korupsi yang ditangani tidak berbanding lurus dengan penerapan anti-TPPU. Akibatnya, negara lebih banyak menghasilkan narapidana dan minim merampas kembali hasil korupsinya.  Dibandingkan uang yang dikorupsi dan hukumannya kadang dipandang terlalu ringan, ada hal lain yang sangat mengecewakan. Uang negara pun tidak kembali, koruptor tetap bisa menikmati uang yang dicuri dari rakyat.

Semangat pemberantasan korupsi yang minim penerapan TPPU harus dipikirkan kembali. Apakah tepat kalau kita tetap menggunakan pola konvensional yang fokus pada penerapan antikorupsi dan pemenjaraan semata tanpa strategi penyitaan dan perampasan hasil korupsi untuk tujuan pemulihan aset negara yang telah dijarah? Padahal, kadang kita ternganga karena jumlah yang dikorupsi sangatlah fantastis.

Apakah kita akan tetap dengan cara seperti itu? Membiarkan koruptor menikmati hasil korupsi dan keuangan negara tetap menganga tidak terpulihkan? Untuk itu, penerapan anti-TPPU bersamaan dengan penerapan antikorupsi harus menjadi prioritas strategi pemberantasan korupsi.

Pasal 75 UU No 8 Tahun 2010 tentang TPPU jelas menyebutkan bahwa dalam hal terjadi kejahatan asal dan TPPU, maka penanganan perkara digabungkan. Artinya apa? Bahwa bila ada korupsi dan uang hasil korupsinya sudah mengalir ke mana-mana, dinikmati baik oleh pelaku korupsi maupun orang lain, penanganannya harus sekaligus dalam satu dakwaan yang terdiri dari dakwaan korupsi dan TPPU.

Seharusnya pula dipahami, tidaklah tepat kalau dalam penetapan tersangka yang ditindaklanjuti dengan penyidikan selanjutnya tidak ditelusuri aliran hasil kejahatannya untuk apa, TPPU-nya ke mana?

Seharusnya. mudah dipahami bahwa dalam hal ada dugaan korupsi, apalagi kalau terjadi sekian waktu yang lalu dan baru terungkap sekarang, pasti tidak mungkin tidak terjadi pencucian uang. Untuk itu, seseorang yang ditetapkan tersangka korupsi harus dikembangkan pada penerapan TPPU-nya. Kemudian, pada akhirnya berlanjut pada proses penuntutan dengan dakwaan dua kejahatan sekaligus, yaitu korupsi dan TPPU.

Hal ini menjadi sangat penting agar sejak awal pengungkapan korupsi langsung dikejar ke mana saja uang hasil korupsinya. Kenapa? Karena Undang-Undang Antikorupsi tidak memfasilitasi untuk pelacakan. Meskipun ada penyitaan, tetapi tentu tidak sekuat bila menggunakan langkah penyitaan atas hasil pelacakan aliran dana korupsi, terutama bila sudah berubah bentuk, misalnya dari uang sebagai hasil korupsi dan sudah berubah menjadi barang karena dibelanjakan dan modus-modus lain.

Kemudian, ada masalah terkait Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi. Penjatuhan pidana membayar uang pengganti sejumlah yang diperoleh dari hasil korupsi tidak seindah yang diharapkan karena, ada subsidiairnya. Dalam hal ini yaitu dalam waktu yang ditentukan tidak dibayarkan maka bisa diganti dengan penjara dengan waktu tertentu. Bisa saja, koruptor sengaja menyembunyikan hasil kejahatannya dan berkilah untuk tidak bayar serta pasang badan. Tentu bukan hal seperti ini yang diinginkan. Untuk apa sekadar memperberat pidana, sedangkan kerugian negara tidak tergantikan?

Dengan menerapkan TPPU, sepanjang penegak hukum mau bekerja profesional penuh integritas seharusnya bisa memaksimalkan pengembalian kerugian negara dan merampas kembali harta kekayaan dari koruptor. Ini dilakukan dengan mengoptimalkan penerapan TPPU dalam penanganan perkara korupsi.

Selain itu, untuk memperkuat penuntutan, seharusnya hakim juga mewajibkan pembalikan beban pembuktian (shifting burden of proof) kepada terdakwa terkait harta kekayaan yang dipermasalahkan, biasanya berupa barang yang disita maupun rekening yang bekukan dengan menggunakan UU TPPU.

Sudah barang tentu harus dipahami oleh penegak hukum bahwa harta kekayaan hasil kejahatan bisa jadi bukan hanya dinikmati oleh koruptornya tetapi juga oleh orang lain yang kebagian aliran dananya. Untuk orang yang menikmati hasil kejahatan tidak mungkin diterapkan ketentuan antikorupsi, padahal dia menikmati.

Maka, untuk itu orang-orang ini harus dipertanggungjawabkan secara pidana karena ikut menikmati hasil korupsi yang dia tahu, atau setidaknya dia patut menduga, yang dinikmati bukan dari hasil kegiatan yang sah dan jumlah yang diterima menimbulkan kecurigaan.

Oleh sebab itu, dengan menerapkan TPPU, penegak hukum bisa menjangkau siapa yang ikut menikmati hasil korupsi. Ini penting diterapkan untuk mencegah orang yang mencoba-coba korupsi karena dia harus berpikir bahwa bukan hanya korupsi yang akan dikejar pemenjaraan, tetapi hasil korupsinya tetap akan dilacak dan untuk itu dia berisiko penambahan pidana lagi.  

Selain itu, uang hasil korupsinya pun akan dirampas kembali. Dalam hal ini, yang juga harus diingat, penerapan ini sebagai penguat integritas bangsa. Bahwa harus disosialisasikan, ikut menikmati hasil korupsi adalah kejahatan dan bisa berakibat fatal.

Peringatan Kemerdekaan ke-75 ini dan kondisi saat ini negara sedang sangat membutuhkan dana, harus dipandang sebagai momentum konsistensi untuk menerapkan TPPU pada korupsi yang ada bukti hasilnya telah dinikmati, dialirkan kemana saja, dan untuk apa saja. Penerapan TPPU harus dioptimalkan agar perampasan hasil kejahatan yang harus dikembalikan kepada rakyat bisa maksimal.

Saat ini, penegak hukum sedang menghadapi atau mengungkap beberapa perkara korupsi. Terakhir, tentu saja penanganan kasus Djoko Tjandra. Kita akan melihat komitmen penegak hukum terkait penerapan TPPU-nya, karena mustahil bila ada bukti aliran dana penyuapan atau gratifikasi, kemudian tidak ada TPPU sedangkan kasus ini bukan kasus tangkap tangan.

Marilah kita gunakan momentum peringatan hari kemerdekaan dengan mengevaluasi penegakan hukum terhadap korupsi yang terjadi, sekalipun pelaku korupsi sudah dipidana, apakah semua yang terlibat TPPU karena menikmati hasil korupsi sudah ditelusuri. Misalnya, bebasnya Nazarudin kemarin, apakah sudah tuntas? Apakah pihak lain yang ikut menikmati sudah ditelusuri? Kemudian, kasus yang melibatkan Setya Novanto. Sudah tuntaskah TPPU-nya? Selain itu, kasus korupsi lain yang belum diterapkan TPPU-nya sehingga hasil kejahatan gagal dirampas untuk negara. Apakah akan dibiarkan? (tw)

Peristiwa

Mengenal Quiet Cutting, ‘Modus Baru’ PHK Karyawan

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Pandemi melahirkan banyak istilah baru di dunia ketenagakerjaan. Setelah fenomena quiet quitting mengemuka dengan alasan kesehatan mental para pekerja, kini muncul jargon baru yang dinamakan quiet cutting.

Quiet cutting merupakan istilah yang kontradiktif dengan quiet quitting. Di saat quiet quitting menjadi kampanye dari para pekerja untuk bekerja sewajarnya, muncul respons perusahaan yang mencoba kembali mengambil alih kontrol dengan menggunakan teknik quiet cutting.

Quiet cutting merupakan suatu bentuk penugasan pekerja ke posisi baru dengan harapan mereka pada akhirnya akan berhenti sehingga perusahaan dapat menghemat biaya pesangon. Terdengar familiar?

Munculnya ‘tren-tren baru’ di tempat kerja kerap kali mencerminkan keadaan pasar kerja dan ekonomi saat ini. Apa penyebab fenomena ini terjadi? Bagaimana cara karyawan menyikapi praktik seperti ini?

Dengarkan obrolannya bersama Ketua Umum Ikatan Sumber Daya Manusia Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza dalam episode terbaru podcast Tolak Miskin ‘Mengenal Quiet Cutting, ‘Modus Baru’ PHK Karyawan. Klik widget di bawah untuk mendengarkan atau temukan podcast Tolak Miskin di Spotify dan kanal sinar lainnya. (tri)

Continue Reading

Peristiwa

Roy Suryo: Ijazah Terakhir Gibran Anak Jokowi Bukan S1, Bapak karo Anak Podo Wae, Ambyar!

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo turut memberikan respons terkait polemik ijazah terakhir Gibran Rakabuming Raka. Dia membantah ijazah University Technology Sydney (UTS) milik Gibran palsu.

Sebagai informasi, setiap orang Indonesia yang sekolan di luar negeri lalu bekerja di institusi pemerintah maka sertifikat atau ijazah pendidikan tinggi di luar negeri wajib mendapatkan sertifikat penyetaraan dari Kementerian Pendidikan. Tanpa sertifikat penyetaraan maka sertifikat atau ijazah luar negeri tidak diakui di Indonesia.

Nah Roy Suryo mengungkap dokumen terkait kelulusan milik Gibran dari UTS. Dia memastikan sertifikat kelulusan pendidikan terakhir Gibran di UTS asli.

“Ini surat keterangan (asli) dari Dirjen Dikdasmen Dikbud ditandatangani Sesdirjen Dr Sutanto tahun 2019,” cuit Roy Suryo di aplikasi X @KRMTRoySuryo1, Sabtu (18/11/2023).

Berdasarkan surat tersebut tertulis grade 12. Artinya, ijazah UTS milik Gibran yang maju sebagai cawapres dari Koalisi Indonesia Maju setingkat SMK bukan strata 1.

“”Grade 12” si GRR (Gibran Rakabuming Raka) di UTS Insearch Sydney Aus th 2006 itu setara ESEMKA, eh SMK/Sekolah Menengah Kejuruan bid Akutansi & Keuangan di Indonesia, bukan S-1. AMBYAR,” cuit Roy Suryo lagi.

Ijazah Gibran jadi sorotan di dunia maya. Hal itu tampak dari cuitan pegiat media sosial dr Tifauzia Tyassuma di aplikasi X atau twitter.

Melalui akun @DokterTifa dia mengabulkan permintaan Gibran untuk menganalisa foto wisudanya.

“Saya disuruh @gibran_tweet analisa foto ini. OK,” tulis Dokter Tifa, sembari memposting gambar berita terkait.

“Insearch UTS, program persiapan masuk University Technology Sidney. Dia keluarkan Sertifikat Kursus atau yaaa setara D1 lah. Artinya “Wisudawan” adalah penerima sertifikat kursus, bukan Ijazah Bachelor/Sarjana UTS,” cuit Dokter Tifa. (tri)

Continue Reading

Peristiwa

Terkuak Isi Obrolan KongKaliKong Telepon Luhut dan Menlu China soal Kereta Cepat

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Singapura, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan tetap menjaga relasi dan hubungan internasional dengan para petinggi dunia walau sedang melakukan perawatan di Singapura dan masih sempat kongkalikong cari cuan.

Dalam sebuah keterangan tertulis, Luhut menceritakan bagaimana ia berkomunikasi via telepon dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi. Dalam percakapannya mereka sempat membicarakan kereta cepat Whoosh yang belum lama ini diresmikan.

Luhut mengatakan dalam percakapan tersebut Menlu China menyampaikan rasa apresiasi dan kebahagiaan Presiden Xi Jinping atas peresmian Kereta Cepat Jakarta Bandung yang telah dilakukan oleh Joko Widodo secara langsung beberapa waktu yang lalu. Selain itu mereka juga merasa sangat senang karena moda transportasi ini begitu ramai digunakan.

“Rata-rata penumpang harian Kereta Cepat Whoosh saat ini mencapai hingga 18 ribu, dengan peningkatan jadwal perjalanan sejalan dengan bertambahnya minat masyarakat menggunakan kereta cepat,” terang Luhut dalam keterangannya, Sabtu (11/11/2023).

Selain berkomunikasi via telepon dengan Menlu China, Luhut juga sempat bertemu dengan Special US Presidential Envoy for Climate, John Kerry yang menjenguknya di Singapura. Kemudian ia juga menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong.

Dalam pertemuan dengan John Kerry, Luhut membahas potensi besar Indonesia dalam pemanfaatan Carbon Capture Storage di depleted reservoir dan saline aquifer yang memiliki potensi hingga 400 giga ton dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi di sektor migas dan sektor lainnya.

Setelah itu Luhut juga menyampaikan harapannya untuk bisa berdiskusi lebih lanjut dan meminta John Kerry agar dapat menghubungi White House Senior Advisor to the President for Energy and Investment, Amos Hochstein, guna membahas kerja sama di bidang critical minerals.

“Inisiatif ini dapat menghasilkan dana miliaran dolar yang akan sangat bermanfaat bagi rakyat Indonesia, serta membantu memacu perkembangan teknologi negara kita, sejalan dengan komitmen kita terhadap lingkungan dan pembangunan berkelanjutan,” kata Luhut.

Pada kesempatan yang sama, Menko Luhut juga menyampaikan rasa terima kasih kepada AS atas pembebasan dana Pertamina sebesar US$ 300 juta yang sempat mengendap di Venezuela.

“Kita sebelumnya mengalami kendala karena permasalahan antara Amerika dan Venezuela, yang menyebabkan dana Pertamina tertahan selama hampir 3-4 tahun, dan Amerika telah membantu menyelesaikan hal tersebut,” ungkapnya.

Luhut menambahkan bila bantuan ini menandakan hubungan baik dan kepercayaan yang kuat antara Indonesia dan Amerika, yang membuka jalan untuk kerja sama lebih lanjut di masa depan.

Luhut mengaku dukungan yang diterimanya dari Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, selama pemulihan juga semakin memperkuat hubungan Indonesia-Singapura. Ia mengatakan PM Lee tengah membuka peluang kerja sama di bidang kesehatan antara dua negara, termasuk rencana pembangunan ekosistem kesehatan di Bali yang serupa dengan Singapura.

Menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo akan bertemu dengan Menteri Kesehatan Singapura, Ong Ye Kung, untuk meninjau fasilitas kesehatan di Singapura yang akan dijadikan benchmark.

“Di Bali, kita punya RSUP Sanglah. Tugas kita adalah melatih SDM dan manajemennya. Ini membutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 tahun, jadi kita harus segera memulainya. Kerja sama dengan Singapura dalam membangun ekosistem kesehatan yang berkualitas akan sangat bermanfaat,” Luhut. (tri)

Continue Reading
Advertisement

Trending