Ekonomi
RI Jadi Korban Perang Dagang Trump, Pemerintahan Prabowo Harus Apa?

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Respons pemerintah Indonesia untuk menyikapi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan tarif perdagangan 32% dinanti-nanti seluruh pihak. Namun, sejumlah ekonom telah buka suara.
Mereka pun menyarankan pemerintah merespons cepat karena kebijakan itu. Pasalnya, ini akan mengganggu aktivitas perdagangan internasional Indonesia, apalagi AS menjadi salah satu pangsa terbesar tujuan ekspor Indonesia, setelah China.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terbaru, per Februari 2025, dari total nilai ekspor Indonesia senilai US$ 21,98 miliar. Porsi ekspor RI ke AS 11,26%, di bawah China yang porsinya 20,60%. Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menekankan, langkah Trump akan berakibat pada perlambatan ekonomi yang masif. Ia menganggap, bis dipastikan IMF, World Bank, OECD dan berbagai lembaga internasional lainnya akan segera melakukan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.
Ia pun menilai, risiko investasi global akan semakin tinggi, sehingga attitude “fly to quality” kembali terjadi. Kondisi itu membuat investor merelokasi investasi ke alternatif yang lebih aman, seperti emas, surat utang pemeritah, dan aset berdenominasi hard currency.
“Ekonomi banyak negara akan terdampak, baik melalui transmisi perdagangan dan/atau investasi. Harga saham dunia akan semakin volatile dengan trend menurun, nilai tukar mata uang banyak negara pun akan menunjukkan perilaku yang sama,” tegasnya.
Bagi Indonesia, Wijayanto menilai, pertumbuhan ekonomi akan terpengaruh dimana impian untuk tumbuh 5% tahun ini semakin tidak realistis. IHSG akan semakin volatile dan cenderung melemah, terutama untuk beberapa sektor berorientasi ekspor.
Sejalan dengan itu, rupiah akan tertekan dan cenderung melemah. Upaya refinancing utang dan utang baru sebesar Rp 800 triliun dan Rp 700 triliun di tahun ini menurutnya juga tidak akan mudah, selain kebutuhan akan return yang lebih menarik, Indonesia juga menghadapi ketidakpastian pasar yang semakin berat.
“Mengingat ekspor kita ke AS didominasi oleh produk industri padat karya (sepatu, TPT, produk karet, alat Listrik dan elektronik), maka tekanan PHK akan semakin kuat,” tegasnya.
Terkait apa yang harus dilakukan pemerintah, Wijayanto berbeda pendapat dengan Fadhil yang mendorong langkah negosiasi. Sebab, ia mengingatkan, sebelum pengumuman kebijakan reciprocal tariff dilakukan, berbagai negara telah mencoba melakukan negosiasi, termasuk India, Vietnam dan Korea Selatan (Korsel) yang mempunyai lobbyist kuat di Washington DC. Tetapi mereka gagal total.
“Dalam konteks ini, upaya negosiasi bukan pilihan yang mungkin dilakukan, termasuk oleh Indonesia, paling tidak dalam 1-2 tahun ke depan. AS sedang dalam survival mod, apalagi kemampuan lobby kita sangat terbatas,” paparnya.
Ia berpendapat, yang perlu dilakukan Indonesia dalam waktu dekat ada tujuh langkah, sebagai berikut:
Membentuk tim negosiasi yang disiapkan untuk bernegosiasi dengan AS saat kondisi sudah memungkinan.
Indonesia perlu memperkuat cadangan devisa untuk menghadapi rally “perang mata uang” yang panjang. Kebijakan DHE perlu segera diterapkan dengan tuntas.
Pemerintah perlu melakukan rekalibrasi APBN, program boros anggaran perlu dikurangi untuk memprioritaskan program jangka pendek yang berdampak langsung pada daya beli dan penciptaan lapangan kerja. Demand dari dalam negeri perlu distimulus untuk menggantikan demand dari LN yang berpotensi menurun.
Pengetatan impor legal dan penghentian impor illegal secara total. Selain menciderai produsen dalam negeri, ini juga membuat negara kehilangan potensi pendapatan.
Penguatan industri jasa keuangan, terutama Perbankan dan Pasar Modal, untuk mampu berperan sebagai shock absorber bagi semakin tingginya ketidakpastian ekonomi dunia.
Pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan komprehensif yang kongkrit dan realistis serta dinarasikan dengan baik. Berbagai kalangan masih belum melihat dengan jelas ke mana ekonomi negeri ini akan dibawa oleh Pemerintahan Prabowo.
Memperkuat kerjasama perdagangan dan investasi dengan berbagai negara dengan memanfaatkan sentimen “perasaan senasib”, termasuk dengan EU, ASEAN, India, Timur Tengah, bahkan Afrika dan Amerika latin. (tw)
