Connect with us

Ekonomi

Skema Pembiayaan Rumah Subsidi Negeri Sakura Flat 35 yang Bakal Diadopsi Indonesia

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna memberikan sinyal positif diadopsinya Flat 35 Jepang sebagai skema pembiayaan rumah subsidi di Indonesia.

Herry mengatakan hal itu usai penandatanganan Nota Kerja Sama antara BP Tapera dan Japan Housing Finance Agency (JHF), di Langham Hotel Jakarta, Jumat (15/12/2023).

“Jika kelak kita adopsi, ini nantinya tidak hanya bagi MBR, juga bisa berpindah ke komersil, mandirilah swasta dari situlah kita mulai kolaborasi,” ujar Herry. Lantas apa itu Flat 35, bagaimana mekanismenya?

Flat 35 yang telah sukses dijalankan di Negeri Sakura, ini merupakan skema pinjaman perumahan dengan suku bunga tetap yang disediakan oleh Badan Pembiayaan Perumahan Jepang atau Japan Housing Finance Agency (JHF) bekerja sama dengan lembaga keuangan swasta.

Karena pinjaman dengan suku bunga tetap adalah jenis pinjaman yang tingkat pinjamannya dan jumlah angsurannya tetap sampai jatuh tempo segera setelah pinjaman ditutup, maka memungkinkan nasabah untuk membuat rencana hidup jangka panjang.

Ada empat manfaat dari skema Flat 35 ini: Jaminan suku bunga tetap hingga jatuh tempo Mendukung akuisisi perumahan berkualitas tinggi dengan menurunkan suku bunga Tidak ada biaya jaminan dan tidak ada biaya untuk pembayaran di muka. Memperpanjang konsultasi selama periode pembayaran Senior Executive Director JHF Yoshida Hideo memastikan, skema program pembelian rumah dalam konsep Flat 35 sangat cocok untuk kalangan anak muda generasi milenial dan zilenial dengan pendapatan rendah.

“Periode tenornya panjang, sementara di sisi lain harga rumah demikian tinggi dan mahal, sehingga sulit dijangkau. Untuk menjawab kebutuhan pasar anak muda itulah, Flat 35 dikembangkan dengan suku bunga sangat rendah,” papar Yoshida. Adapun alur untuk mendapatkan KPR Flat 35 sebagai berikut: Pertama, konsumen atau nasabah mengajukan permohonan KPR melalui lembaga keuangan swasta. Pada saat yang bersamaan, konsumen juga mengajukan permohonan inspeksi konstruksi ke lembaga terkait yang kemudian menindaklanjutinya dengan menerbitkan sertifikat kesesuaian.

Kedua, lembaga keuangan akan mencairkan pinjaman KPR kepada JHF selaku badan otoritatif pemerintah yang bergerak di bidang pembiayaan primer dan sekunder perumahan. Selanjutnya, JHF akan menyalurkan atau mempercayakan dana KPR sebagai jaminan kepada bank tepercaya yang ditunjuk.

Langkah berikutnya, JHF menerbitkan sekuritas berbasis KPR atau mortgage backed securities (MBS) yang bisa dibeli oleh investor di pasar modal. Pada saat yang sama, bank yang mendapat kepercayaan untuk penempatan dana KPR memberikan jaminan MBS kepada investor. Investor kemudian memproses MBS kepada JHF yang akan melakukan penggantian untuk pinjaman perumahan yang dibeli investor.

Kemudian, konsumen melakukan pembayaran kembali alias mencicil KPR-nya per bulan kepada lembaga keuangan di mana konsumen mengajukan KPR-nya. Lembaga keuangan inilah yang kemudian mengirimkan dana yang terkumpul kepada JHF. JHF selanjutnya melakukan pembayaran kepada investor lewat jalur inspeksi.

Menurut Herry, hal menarik yang bisa diduplikasi dari konsep Flat 35 adalah bisa disekuritisasi di pasar modal yang bisa menjadi sumber pembiayaan KPR. Selain itu, hunian-hunian yang layak untuk dibiayai dengan skema Flat 35 juga berkualitas dengan material yang terkurasi dengan baik serta ramah lingkungan.

Untuk mendukung ekosistem ini, Pemerintah akan mengoptimalisasi peran BP Tapera, dan PT Sarana Multigrya Finansial (Persero) atau SMF. “Saya kira Flat 35 ini bagus kalau kita adopsi. Karena dengan 20 tahun skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), kita tidak bisa beli rumah susun di perkotaan. Makanya kita harus dorong sehingga cicilannya lebih murah selain skema stairchasing ownership,” tutur Herry. Saat ini, skema Flat 35 tengah dalam tahap diskusi dalam ekosistem pembiayaan perumahan untuk dapat dimodifikasi dengan skema pembiayaan lainnya. “Saya sudah coba diskusi dengan teman-teman di ekosistem. Kami coba adopsi itu bagaimana konsep yang sama bisa kita lakukan di Indonesia. Lagi kami hitung-hitung siapa yang berperan di depan, siapa yang berperan di belakang termasuk tingkat suku bunganya,” tandas Herry.

Yang patut disayangkan adalah, mengapa pemerintah tidak mengadopsi sistem dari timur tengah yang berbasis syariah dan No Riba, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. (utw)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement