Connect with us

Nusantara

Terbongkar Proyek Tol Rugikan Negara Rp 4,5 Triliun, 5 Pejabat PUPR Dipecat

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Mengejutkan, KPK  temukan ada masalah pada sejumlah proyek Tol di Indonesia.

KPK mengungkap akan ada lima pejabat Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR yang akan dicopot buntut temuan KPK terkait masalah tata kelola jalan tol.

Bahkan beberapa waktu lalu KPK mengendus ada indikasi korupsi dari proyek jalan tol sejak 2016.

Dari temuan tersebut, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 4,5 triliun.

“Ada lima orang BPJT yang ternyata Komisaris di Jalan tol, nah ini bagaimana? Pak Menteri sudah setuju nanti dicopot semua yang lima,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat dijumpai di Kantor Bappenas (9/3/2023).

Menurut Pahala, pejabat BPJT tidak dibenarkan merangkap jabatan sebagai Komisaris di badan usaha jalan tol (BUJT).

Ia menilai hal itu akan memicu adanya konflik kepentingan dan risiko korupsi.

“BPJT itu kan dia mengawasi semua perusahaan yang mengoperasikan jalan tol, jadi takut konflik kepentingan,” tambah Pahala.

Pahala juga menjelaskan, adanya potensi kerugian negara dari pembangunan jalan tol ini lantaran negara memberikan pinjaman dana kepada badan usaha untuk pembebasan tanah.

Menurutnya, hingga saat ini dana tersebut belum ada kejelasan kapan uang tersebut akan dikembalikan.

Padahal sesuai dengan kesepakatan, uang pinjaman itu akan dikembalikan saat jalan tol sudah beroperasi.

“Ternyata saat sudah jadi belum jelas kapan akan dikembalikan, dipanggil dong semua kan Rp 4,5 triliun itu gede,” ungkap Pahala. (ut)

Nusantara

Jokowi Larang Pejabat hingga ASN Buka Puasa Bersama di Ramadan Tahun Ini

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Joko Widodo (Jokowi) meminta kegiatan buka bersama di kalangan pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) selama bulan Ramadhan 1444 Hijriah kali ini ditiadakan.

Larangan buka bersama itu tertuang pada surat Surat Sekretaris Kabinet Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023 tentang arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama yang telah dikonfirmasi Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada Rabu (22/3/2023).

Dilansir dari lembaran surat pada Kamis (23/3/2023), alasan Presiden melarang kegiatan buka bersama bagi pejabat dan ASN adalah karena saat ini penanganan Covid-19 masih dalam masa transisi dari pandemi menuju ke endemi.

Oleh karenanya, masih diperlukan kehati-hatian selama masa transisi ini.

Adapun surat itu ditujukan kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan kepala badan/lembaga.

Surat tersebut meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar menindaklanjuti arahan tersebut kepada para gubernur, bupati, dan wali kota.

Selain itu, para menteri, kepala instansi, kepala lembaga, serta kepala daerah diminta untuk mematuhi arahan Presiden dan meneruskan kepada semua pegawai di instansi masing-masing.

Saat ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang mempersiapkan surat edaran (SE) sebagai tindak lanjut dari surat Sekretaris Kabinet.

“Sedang dalam proses penyiapan SE,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu malam.

“Kami akan segera tindak lanjut dengan SE kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Saat ini sedang proses, setelah selesai segera dikirim ke daerah,” katanya lagi.

Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Ramadhan 1444 H atau awal puasa Ramadhan 2023 jatuh pada Kamis (23/3/2023) atau hari ini.

Setiap bulan ramadan, ada saja larangan pemerintah untuk membatasi kegiatan umat muslim di Indonesia. Semenjak aturan pasca pandemi, pemerintah sudah mengijinkan kegiatan yang sifatnya umum untuk keramaian, seperti nonton konser secara terbuka dan berkumpul dalam jumlah manusia yang banyak, Sahur on the road pun dilarang oleh pihak berwajib, serta kegiatan lainnya. Inilah jika seorang pemimpin yang mempunyai ilmu minim dalam agama, mereka akan selalu menghalangi segala kegiatan umat. (ut)

Continue Reading

Nusantara

Wapres Usulkan Pajak Dipisah dari Kemenkeu, Apakah Ditanggapi?

Published

on

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan kembali muncul. Kali ini, wacana ini diungkapkan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin di sela-sela lawatannya ke Riau. Ma’ruf mengatakan ada kajian yang sedang dilakukan pemerintah terkait hal tersebut.

“Saya kira masalah kedudukan dirjen pajak itu sedang dikaji secara komprehensif. Kita tunggu hasilnya seperti apa nanti itu manfaat, kebaikannya dan sebagainya,” ujarnya di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, dikutip Selasa (21/3/2023).

Wapres meyakini harus ada perubahan dari sisi perpajakan. Hal ini guna memberikan transparansi kepada masyarakat. Kedua, dia berharap ada peningkatan dari sisi pelayanan dan organisasi. Ketiga, dia melihat pentingnya tax ratio yang masih rendah itu naik.

“Nah ini saya kira apapun bentuknya nanti apakah terpisah atau masih di bawah tapi nanti hasil kajian itu menghasilkan,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua MPR RI Golkar Bambang Soesatyo menegaskan bahwa ide pemisahan bukan hal baru.

“Ini merupakan salah visi-misi kampanye Presiden Joko Widodo di tahun 2014. Ketika saya menjabat sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019 pun, telah dibahas masalah ini. Namun, hingga kini belum terealisasi,” ujar Bamsoet seperti dikutip detik.com, Selasa (21/3/2023).

Bamsoet menjelaskan kebijakan pemisahan DJP dengan Kemenkeu sebenarnya sudah masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dibuat pemerintah pada tahun 2015.

Dalam pasal 95, disebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Nantinya, lanjut Bamsoet, DJP akan dibentuk dalam satu badan bernama Badan Penerimaan Negara (BPN) yang bersifat otonom.

“Pemisahan DJP sebagai lembaga mandiri yang bersifat independen bertujuan agar institusi tersebut lebih kuat dan efektif. Sama halnya ketika pembentukan badan baru seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia,” tegasnya. (tri)

Continue Reading

Nusantara

Food Estate: Perkebunan Singkong Mangkrak, Ribuan Hektare Sawah Gagal Panen di Kalteng

Published

on

REPORTASE INDONESIA Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.

Penelusuran LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.

Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.

Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.

Dengan nada bicara tinggi, Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.

Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional.

Kini, semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektare yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh keluarganya.

“Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan. Sekarang lihat saja kayak lapangan… siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur,” ucapnya sewot di rumahnya awal Februari lalu.

Pria 53 tahun ini berkata warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate atau pembukaan kebun singkong.

Hingga pada November 2020, menurut Rangkap, puluhan alat berat yang dikawal tentara tiba-tiba masuk ke hutan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, membenarkan pernyataan Rangkap.

Proses sosialisasi, katanya, berlangsung tiga kali pada 2020. Karena situasi kala itu pandemi Covid-19, hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertahanan.

Mereka yang diajak di antaranya seluruh kepala desa di Kecamatan Sepang, damang (kepala adat), mantir (perangkat adat), lurah, bupati, kapolsek dan kapolres.

Di situ disampaikan ada program nasional lumbung pangan singkong yang mencakup empat desa yakni seluas 31.000 hektare – setara dengan setengah luas DKI Jakarta.

Namun tak ada penjelasan lanjutan soal mengapa lahan food estate itu menggunakan hutan produksi di desanya dan mengapa tanaman singkong yang dipilih.

Selaku kepala desa, Sigo mengeklaim tak berani menolak kebijakan dari pemerintah pusat.

“Kami tetap menerima, yang penting program ini terjadi masyarakat inginkan ada tenaga kerja lokal sesuai kemampuan masing-masing. Ternyata fakta di lapangan, sejak lahan dibuka sampai ditanami singkong tidak ada dilibatkan masyarakat satu pun,” ujarnya.

Kebun singkong dijaga ketat

Apa yang terjadi di dalam kebun singkong, tak ada yang tahu.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, berkata masyarakat dilarang masuk ke area tersebut. Begitu juga dirinya.

Bahkan untuk meminta kayu yang sudah ditebang pun, katanya, tak boleh.

Suatu kali ia pernah ke sana untuk meminta beberapa batang kayu demi kebutuhan pembangunan kantor desa.

Tapi begitu sampai, katanya, dia dicegat tentara.

Rangkap juga mengalami kejadian serupa. Dia berkisah, waktu itu ia mau mengambil sayur di ladang miliknya. Saat tiba, lahannya sudah habis dibabat.

Di lain hari, dia hendak mencari kayu untuk memperbaiki rumah namun dicegah.

“Kayu itu bukan untuk dijual, untuk dipakai kok dilarang? Kayak penjajahan saja,” katanya kesal.

Sejak itu, Rangkap tak pernah mau menginjakkan kaki di sana.

Sampai di akhir 2021 satu per satu pekerja meninggalkan area itu.

Tak ada informasi dari pekerja kontraktor di kebun singkong kenapa mereka pergi, tutur Sigo. Ia pun tak tahu status program food estate ini dihentikan atau masih berlanjut usai terbengkalai.

kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.

Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.

Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus.

Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.

Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.

Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter.

Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.

Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar bahkan mengaku tak pernah melihat pekerja memanen singkong-singkong itu.

Food estate padi yang tak kunjung panen

Selain singkong, pemerintah juga mengembangkan food estate atau lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Sebagian besar atau sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.

Menengok sejarah ke belakang, kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng Sunarti, di era pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono area itu menjadi sentra padi.

Meskipun gambut, sambungnya, tapi tidak terlalu dalam. Sehingga tanah di sana, klaimnya, subur lantaran sudah diolah bertahun-tahun oleh warga transmigran.

Untuk program ini, penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertanian menggunakan dua metode: intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi artinya menggenjot produksi padi dari lahan sawah yang sudah ada jadi lebih tinggi lagi.

Sedangkan ekstensifikasi, meningkatkan hasil pertanian dengan cara mencetak sawah baru di atas lahan tidur atau terlantar.

Kalau menurut beberapa pengamat pertanian, food estate semestinya fokus pada upaya ekstensifikasi. Mengingat luas lahan pertanian di Jawa kian menyusut akibat pembangunan.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan luasan lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru pada 2021-2022 di dua kabupaten di Kalteng mencapai 17.175 hektar.

Hanya saja, dari ribuan hektare itu belum ada sawah yang bisa dipanen karena “lahan baru dibuka dan ditanam,” kata Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman.

Mengapa program lumbung pangan tak ada yang berhasil?

Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan pihaknya sudah mengira program lumbung pangan ini bakal gagal seperti yang sudah-sudah.

Perlu diketahui, program serupa pernah dijalankan oleh mantan presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono di Kalteng. Namun tak ada yang berhasil.

“Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng,” ujar Bayu.

Menurut Bayu, menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan.

Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.

Kini, pemerintah tak cuma mengobrak-abrik gambut tapi merembet ke kawasan hutan yang menjadi lokasi kebun singkong.

Padahal hutan itu adalah habitat orang utan.

“Di sana salah satu wilayah yang tutupan hutannya masih bagus dan itu jadi koridor orang utan,” ujarnya.

Sejumlah warga yang tinggal di sekitar kebun singkong membenarkan ucapan Bayu. Beberapa kali mereka melihat dua orang utan dewasa melintas di hutan itu.

Dalam hal kondisi sosial masyarakat, sambungnya, orang Dayak sebetulnya sudah punya pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal mereka.

Sehingga mereka tahu betul mana lokasi yang bisa dijadikan lahan pertanian.

Sayangnya, dia menyebut, program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka.

“Masyarakat di sini pola pertanian sawah belum dekat. Kalaupun ada itu bukan orang lokal tapi transmigran.”

“Penduduk setempat terbiasa berladang dengan membakar lahan. Tapi kalau terjadi kebakaran, mereka yang disalahkan. Padahal mereka paling punya lahan dua sampai tiga hektare saja.”

Apa yang terjadi sekarang, menurut Bayu, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan dan itu bukan perkara sederhana.

Butuh proses yang panjang untuk berubah.

Persoalan lain mengapa program ini kandas, katanya, benih yang diberikan ke petani lokal tidak sesuai dengan pengetahuan mereka, semisal siam munus atau siam mayang. (tw)

Continue Reading
Advertisement

Trending