Hukum
Gugatan Ke Gibran Sebesar Rp 125 Triliun akan Berlanjut ke Mediasi Jika Wapres Mundur dari Jabatannya

REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memasuki tahap mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).
Hakim Ketua Budi Prayitno menegaskan, gugatan bisa berhenti jika tercapai kesepakatan damai. Jika tidak, perkara akan berlanjut ke tahap pembuktian. “Mudah-mudahan bisa damai, kalau tidak kita lanjutkan sidang lanjutan,” ujarnya.
Mediasi akan dipandu hakim mediator Sunoto dengan jangka waktu maksimal 30 hari. Kuasa hukum Gibran, Dadang, menyebut jadwal mediasi pertama ditetapkan pada 29 September 2025.
Gugatan dilayangkan oleh Subhan Palal yang menilai Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum karena syarat pencalonan cawapres tidak terpenuhi.
subhan pun menolak mediasi jika Gibran tidak mundur dari jabatan Wapres nya terlebih dahulu.
Dalam petitumnya, Subhan meminta majelis hakim menyatakan status Gibran sebagai wapres tidak sah serta menghukum Gibran dan KPU membayar ganti rugi Rp 125 triliun plus Rp 10 juta ke kas negara.
KPU Diduga Ganti Pendidikan Terakhir Gibran Menjadi S1, Pengamat: Skandal Besar

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow menyebut dugaan perubahan terkait pendidikan terakhir Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka di laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan persoalan serius.
“Menurut saya, perubahan data apapun di situs resmi KPU, apalagi menyangkut calon presiden atau wakil presiden, bukan perkara sepele,” kata Jeirry saat dihubungi, Senin (22/9/2025).
Subhan menuntut perdata Gibran dan KPU. Ia menilai keduanya melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran cawapres yang dahulu tidak terpenuhi.
Menurut Jeirry, KPU tidak boleh tinggal diam atas klaim tersebut dan segera angkat bicara untuk memberi pernyataan yang jelas.
“Karena itu, berdasarkan gugatan Subhan Palal, KPU tak boleh diam dan cuek. KPU seharusnya segera memberi penjelasan resmi, bukan diam seribu bahasa,” tutur Jeirry. (tw)
