Megapolitan
Diwarnai Aksi Protes dan Penolakan 2 fraksi, DPR Sahkan UU Kesehatan! Apa Pasal yang Menuai Polemik?
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang pada Selasa (11/07) kendati dua fraksi yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera menyatakan menolak pengesahan.
Di ruang sidang, Ketua DPR Puan Maharani, menanyakan kepada seluruh anggota fraksi yang hadir apakah RUU Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?
“Setuju…” jawab seluruh anggota DPR.
Dalam penyampaian laporan, pimpinan Komisi 9 DPR, Emanuel Melkias Lakalena mengatakan UU ini terdiri dari 20 bab dan 478 pasal.
Panitia Kerja (panja) RUU Kesehatan, kata dia, menyadari bahwa pembahasan beleid tersebut harus melibatkan masyarakat. Karenanya pada April dan Mei, panja mengundang berbagai unsur dan organisasi profesi, akademisi, dan asosiasi penyedia kesehatan demi menjaga keterbukaan.
“Masukan-masukan itu diakomdasi dan dipertimbangkan secara seksama,” imbuh Melkias.
Setelah melalui pembahasan yang dinamis, sambungnya, pada 19 Juni 2023 telah dilaksanakan rapat kerja dengan pemerintah untuk pengambilan keputusan.
Di mana dapat kerja, sebanyak enam fraksi menyetujui RUU Kesehatan dibawa ke Rapat Paripurna.
Kemudian Partai Nasdem menyatakan menyetujui namun “dengan catatan” dan Demokrat serta Partai Keadilan Sejahtara (PKS) menyatakan “menolak”.
Melkias kemudian menjelaskan beberapa poin penting yang termuat di UU Kesehatan, mulai dari pemerintah daerah (pemda) wajib memprioritaskan anggaran kesehatan dalam APBD dengan perhatian “berbasis kinerja”.
Lalu Surat Tanda Registrasi (STR) bagi tenaga kesehatan yang akan “diberlakukan seumur hidup” yang pada akhirnya, menurut Melkias, ditujukan untuk kemajuan sistem kesehatan di Indonesia dan menyediakan pelayanan kesehatan terbaik sehingga masyarakat tidak perlu keluar negeri untuk berobat.
Mengapa Demokrat dan PKS menolak pengesahan RUU Kesehatan?
Anggota Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, mengatakan pihaknya keberatan dengan dihapusnya ketentuan mandaroty spending atau ketentuan minimal anggaran kesehatan sebesar 5%.
Menurut Demokrat, hal itu menunjukkan kurang komitmennya pemerintah pada persoalan kesehatan di Indonesia.
Padahal mandatory spending, menurutnya, sangat diperlukan untuk terpenuhinya pelayanan kesehatan dan tercapainya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam RPJMN 2022-2024 menjadi 75,45%.
“Demokrat komitmen perjuangkan anggaran kesehatan, kebijakan pro kesehatan minimal 5 persen di APBN, hendaknya bisa ditingkatkan jumlahnya. Namun tidak disetujui dan pemerintah memilih menghapus,” tutur Dede Yusuf di ruang sidang Rapat Paripurna DPR.
Isu lain yang menjadi perhatian Demokrat, sambung Dede Yusuf, yakni dibukanya keran ‘impor’ dokter.
Kata dia, partainya mendukung kemajuan praktik kedokteran dan kehadiran dokter asing tapi harus mengedepankan seluruh dokter Indonesia lulusan dalam negeri dan luar negeri agar diberikan pengakuan yang layak.
Merujuk pada masih adanya persoalan di UU Kesehatan, Demokrat menilai proses penyusunan RUU ini cenderung tergesa-gesa.
Senada dengan Demokrat, anggota fraksi PKS, Netty Prasetiyani, menjelaskan proses penyusunan UU Kesehatan bisa menjadi preseden kurang baik dalam legislasi ke depan.
Pasalnya pembahasan beleid ini dilakukan tergesa-gesa yang mengakibatkan tidak tercapainya meaningful participation.
Catatan lainnya, ujar Netty, adalah ditiadakannya pengaturan alokasi anggaran 5% dalam UU Kesehatan yang mana hal itu “merupakan sebuah kemunduran dari upaya menjaga kesejahatan masyarakat Indonesia”.
“Bagi PKS bahwa mandatory spending penting untuk kesediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan. Dengan adanya alokasi, jaminan anggaran kesehatan bisa teralokasi secara adil,” tegas Netty.
“Karena itu PKS memandang mandatory spending adalah ruh dan bagian terpenting di UU Kesehatan.”
Apa kata Menkes?
Terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengucapkan terima kasih kepada DPR karena bersedia menginisiasi RUU Kesehatan.
Ia kemudian berkata, pandemi Covid-19 membuka mata Indonesia akan banyaknya perbaikan yang harus dikerjakan di bidang kesehatan. Itu kenapa transformasi sangat diperlukan.
Apalagi menurut catatanya, sebanyak 300.000 rakyat wafat karena stroke, 6000 bayi wafat karena kelainan jantung karena tidak bisa dioperasi, 5 juta balita stunting.
“Sesudah badai pandemi, ini saatnya kita melakukan perbaikan dan membangun kembali sistem kesehatan Indonesia jadi lebih tangguh untuk generasi selanjutnya,” tutur Menteri Budi Gunadi.
“Menuju Indonesia Emas 2045 Indonesia perlu kerja keras, karena masa keemasan tidak bisa dicapai tanpa manusia Indonesia yang sehat.”
Budi Gunadi lantas membeberkan beberapa poin dalam UU Kesehatan.
Di antaranya memperkuat pelayanan primer, memperkuat pemanfaatan teknologi kesehatan seperti telemedicine.
Kemudian penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan lewat penguatan rantai pasokan dari hulu ke hilir, kata Menkes Budi Gunadi.
“Selain itu pemerintah dan DPR sepakat bahwa diperlukan percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter, dokter spesialis lewat pendidikan berbasis kolegium di rumah sakit pemerintah.”
“Pemerintah dan DPR juga sepakat bahwa nakes memerlukan perlindungan hukum saat bertugas dari tindak kekerasan, pelecehan, dan perundungan dari sesama.
“Secara khusus nakes yang melakukan tindak pidana dalam pelayanan kesehatan harus melewati pemeriksaan majelis terlebih dahulu.”
Ikatan dokter, perawat dan apoteker menolak UU Kesehatan
Di luar gedung DPR, para tenaga kesehatan berkumpul di luar gerbang untuk menyampaikan aspirasi mereka menolak pengesahan UU Kesehatan.
Ketua Umum IDI, Dr Mohammad Adib Khumaidi, mengatakan bahwa unjuk rasa ini merupakan salah satu upaya mereka dalam mendesak dicabutnya RUU Kesehatan.
“Koalisi masyarakat sipil pun sudah semakin menyuarakan terhadap permasalahan-permasalahan dari UU Kesehatan ini.
“Sehingga dukungan yang semakin besar ini dari guru-guru besar. Undang-undang kesehatan ini masih sangat bermasalah,” ujar Adib kepada BBC News Indonesia.
Yang menjadi kekhawatiran Adib adalah dihapusnya mandatory spending berupa anggaran minimal 5% yang dampaknya beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung masyarakat akan semakin besar.
Bagi Adib, pengalokasian anggaran kesehatan berdasarkan program pemda mustahil dilakukan. Sebab layanan kesehatan tidak bisa berbasis program semata.
“Kesehatan bukan masalah program, kesehatan itu adalah komitmen negara yang harus tertuang ke dalam suatu undang-undang. Karena harus ada suatu kepastian hukum untuk memenuhi asas keadilan kesehatan rakyat,” ujarnya.
- Kontroversi RUU Kesehatan: Anggaran wajib untuk kesehatan dihapus, ‘layanan kesehatan akan makin buruk’
- Ribuan anggota dan pimpinan lima organisasi profesi kesehatan gelar unjuk rasa tolak RUU Kesehatan
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri Roestam, mengeklaim UU Kesehatan sulit diimplementasikan lantaran tidak mendapat dukungan dari tenaga medis dan nakes.
Satu pasal yang dikritisinya adalah Pasal 145 ayat 3 yang mengatur tentang pelayanan farmasi yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan lain – selain tenaga farmasi.
Noffendri menilai pasal tersebut sangat “karet” karena berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kesehatan apoteker yang sebetulnya tidak kurang.
“Setiap tahun apoteker diambil sumpahnya 7000 orang, enggak akan kekurangan Indonesia akan tenaga apoteker. Sekarang tinggal pemerintahnya apakah mau menyerap atau tidak,” katanya.
IDI ancam mogok kerja
Mohammad Adib Khumaidi mengatakan jika DPR tetap mengesahkan UU Kesehatan, maka ada sejumlah upaya lain yang akan ditempuh.
Pertama, berupa jalur hukum dengan meminta judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar UU Kesehatan dicabut.
Ia mengaku optimis upaya itu bisa dijalankan karena para pemangku kepentingan seperti kelima organisasi profesi, tidak dilibatkan dalam pembahasan UU kesehatan.
“Jadi unprocedural proses, dan ini akan memberikan sebuah konsekuensi hukum dan bukan tidak mungkin menjadi sebuah perhatian terhadap kaitannya dengan judicial review,” ujar Adib.
Namun, mereka juga menyiapkan aksi mogok kerja bersama jika DPR dan pemerintah tetap berkeras dalam mengesahkan beleid tersebut.
“Kami menyiapkan opsi mogok dalam upaya tidak merugikan kepentingan kesehatan rakyat, tidak juga merugikan regulasi yang ada tapi itu akan tetap jadi opsi yang akan kami siapkan,” kata Adib.
Ketua Umum IAI, Noffendri Roestam mengatakan jika satu organisasi profesi akan mogok, maka keempat lainnya akan melakukan hal yang sama.
“Jadi ada dua aksi yang kita lakukan, menempuh jalur hukum. Kemudian kita melakukan setop layanan dalam waktu yang kita tentukan bersama,” kata Noffrendi.
Meski begitu, ia menyebut aksi mogok sebagai opsi terakhir dalam upaya mereka menggagalkan disahkannya UU Kesehatan.
“Itu last option. Kalau DPR memaksa UU ini disahkan.”
Apa saja pasal kontroversial di RUU Kesehatan?
Sejumlah organisasi profesi dan masyarakat sipil menyebut setidaknya ada enam pasal kontroversial yang perlu dicermati.
- Pasal 154 ayat 3
Pasal itu berbunyi: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.”
Pasal ini disebut kontroversial karena memasukkan tembakau dengan narkotika dan priskotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
Organisasi profesi IDI khawatir penggabungan ini akan menyebabkan munculnya aturan yang bakal mengekang tembakau jika posisinya disetarakan dengan narkoba dan memicu polemik di kalangan industri tembakau.
- Pasal 233 – 241
Sejumlah pasal tersebut akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora beroperasi di dalam negeri.
Dikatakan bahwa, “Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP).
Kementerian Kesehatan mengatakan syarat dokter asing bisa bekerja dan berpraktik di Indonesia sangat ketat dan kelak diarahkan memberikan pelayanan kesehatan ke daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar).
Tetapi Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Usman Sumantri, menilai ‘impor’ tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Usman juga mengatakan pemerintah semestinya lebih mengutamakan tenaga kesehatan dalam negeri demi pemerataan pelayanan.
- Pasal 235 ayat 1
Tertulis di situ bahwa, “Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi”.
Bagi IDI, beleid ini sama saja mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik nakes karena tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi.
Padahal surat rekomendasi itu akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik tersebut sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.
- Pasal 239 ayat 2
Isi pasal ini mengatakan: “Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai pasal tersebut “melemahkan” organisasi profesi lantaran sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggung jawab ke Presiden nantinya akan bertanggung jawab kepada Menteri.
- Pasal 314 ayat 2
Pasal itu disebut IDI akan mengamputasi peran organisasi profesi karena isinya yang menyebutkan, “Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi”.
Namun di Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan begitu total kelompok tenaga kesehatan ada 48.
IDI sebagai salah satu penolak RUU Kesehatan, mengaku dibuat bingung, apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi setiap jenis kesehatan.
Lembaga itu mencontohkan, dokter gigi, dokter umum dan dokter spesialis yang masing-masing punya peran berbeda serta visi misinya juga beda.
- Pasal 462 ayat 1
Pasal tersebut menyebutkan: “Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.”
Kemudian di pasal 2 tertulis, “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pasal itu sebagai “kriminalisasi dokter” lantaran tidak ada penjelasan rinci terkait poin kelalaian yang dimaksud. (ut)
https://www.facebook.com/100080579143027/posts/287156227313680/?mibextid=Nif5oz