Ekonomi
Kegagalan Proyek Food Estate dan Ancaman Krisis Pangan
REPORTASE INDONESIA – Jakarta, Indonesia yang statusnya sebagai negara agraris, negara yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian tidak dapat membuat Indonesia keluar dari krisis pangan.
Segala macam cara telah diupayakan para pemimpin terdahulu hingga yang saat ini menjabat.
Hasilnya, Global Food Security Indeks masih mencatat sejumlah rapor merah dalam sektor pangan Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis per September 2022, ketahanan pangan Indonesia masih menempati posisi ke-63 dari 113 negara di dunia dengan skor 63,4.
Indonesia merupakan negara pada urutan ke-10 dari 23 negara yang ada di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu capaian terbaik yang dicatatkan Indonesia adalah soal keterjangkauan pangan. Pada aspek tersebut, Indonesia memiliki skor 81,4 atau sangat baik.
Namun, beberapa rapor merah juga dicatatkan dalam poin-poin ketahanan pangan Indonesia seperti ketersediaan, pasokan air, dan komitmen politik untuk beradaptasi pada kondisi itu.
Ketersediaan pasokan air mendapatkan poin 27, keanekaragaman makanan dengan poin 34,6, kecukupan pasokan tercatat dengan 32,1 poin, komitmen politik untuk beradaptasi pada poin 28, serta poin sangat lemah lainnya pada aspek pembangunan dan penelitian pertanian dengan poin 25,7.
Sejumlah program untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri telah beberapa kali digagas oleh presiden-presiden yang menjabat.
Jatuh Bangun Food Estate
Sejarah mencatat, upaya peningkatan hasil produksi beras pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian. Selanjutnya pemerintah melalui program Bimbingan Masal (Bimas) berupaya mendorong peningkatan hasil produksi beras.
Program Bimas kemudian dikembangkan menjadi Bimas Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional serta swasta asing. Tujuan dari Bimas Gotong Royong yakni untuk meningkatkan produksi beras nasional dengan memberi bantuan pupuk serta pestisida pada petani.
Program Bimas Gotong Royong kemudian disempurnakan menjadi Bimas Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1969. Melalui Bimas Nasional, petani memperoleh Intensifikasi Masal (Inmas) serta Intensifikasi Khusus (Insus). Selain menggerakkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pemerintah juga menerapakan diversifikasi pertanian dengan menggabungkan teknologi dan pertanian.
Program serta kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Soeharto diklaim berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984.
Tidak hanya itu, upaya pemerintahan Soeharto dalam meningkatkan produksi pertanian ditempuh melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juga hektare (ha) di Kalimantan Tengah yang dijalankan melalui Kepres Nomor 82 Tahun 1995.
Program tersebut akhirnya dihentikan pada 1998 pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Proyek itu dinyatakan gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut.
Parahnya, proyek tersebut dinilai menimbulkan kerusakan lahan gambut yang akhirnya menciptakan kebakaran lahan gambut.
Lama tenggelam, program ketahanan pangan kembali dijalankan pemerintah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjalankan program ketahanan pangan melalui Meraku Integrated Energi Estate (MIFEE) pada 2010. Program itu diluncurkan melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009.
Pelaksanaan MIFEE diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 dengan target untuk membuka 1,2 juta ha lahan pertanian.
Program itu pun tercatat mandek. Hanya 100 ha lahan yang berhasil digarap dalam program MIFEE.
Program food estate lainnya kembali dibuat, kali ini Kalimantan Utara dipilih sebagai lokasi baru untuk pembukaan lahan pertanian.
Pada 2011 pemerintahan SBY membuat Food Estate Bulungan, Kalimantan Utara dengan target mencetak 30.000 ha sawah, dan Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat pada 2013 dengan target mencetak 100.000 ha sawah.
Namun, nasib keduanya tidak jauh seperti inisiatif lumbung pangan terdahulunya. Kedua program itu pun kembali tidak menghasilkan kemajuan.
Upaya pemerintah menciptakan lumbung pangan kembali berlanjut. Tongkat estafet kini berada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Program food estate dibahas oleh Jokowi dalam rapat terbatas pada 28 April 2020, 5 Mei 2020, dan 23 September 2020.
Kementerian Pertahanan, Kementerian PUPR dan Kementerian BUMN ditunjuk untuk kerja ‘keroyokan’ mengerjakan program tersebut. Setelah melalui sejumlah proses analisis, Kementerian PUPR akhirnya memilih lokasi lumbung pangan baru ini di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Food Estate ini akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program food estate menjadi satu dari 12 program strategis nasional (PSN) yang diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 9 Tahun 2022.
Dalam beleid itu dituliskan bahwa daftar proyek yang mencakup program food estate tersebut nantinya akan diatur dalam Perpres tentang program peningkatan penyediaan pangan nasional melalui pengembangan kawasan food estate.
Dilansir dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), proyek-proyek food estate tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas produksi pertanian dalam negeri, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menggenjot pembangunan bendungan.
Progress Food Estate Dan Bendungan
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah melakukan pendalaman terhadap program strategis nasional food estate.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang sekaligus Ketua Tim Pelaksana KPPIP Wahyu Utomo menjelaskan bahwa pemerintah tengah menggodok regulasi dalam bentuk Perpres guna mengembangkan program food estate tersebut.
“Untuk food estate ini merupakan kebutuhan ke depan. Penduduk kita akan meningkat dan tentunya food estate ini diperlukan. Progres sampai saat ini kita sedang mempersiapkan Perpres untuk food estate,” jelasnya dalam media gathering di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Wahyu melanjutkan, saat ini pengembangan program food estate akan diprioritaskan pada lima area utama sebagaimana yang telah tercatat oleh KPPIP. Lima area utama itu, yakni di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Dalam keterangannya dijelaskan bahwa, saat ini pemerintah masih terus mengembangkan area of interest (AOI) atau pemetaan daerah-daerah mana saja yang bisa dijadikan menjadi food estate sesuai dengan arahan presiden.
“Tentang hasilnya begini, food estate itu butuh juga infrastruktur, air, jalan, dan lain-lain. Untuk itu, PUPR sudah mengalokasikan untuk memperbaiki saluran-saluran irigasi yang ada di lokasi food estate,” pungkasnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja mengatakan dalam pelaksanaan food estate pihaknya ditugaskan untuk menyediakan infrastruktur pendukung.
Endra menuturkan, Kementerian PUPR menyediakan sumber air, membuka lahan, hingga proses land clearing untuk mencetak sawah.
“PUPR sudah melakukan tugasnya,” ujarnya saat ditemui Bisnis di Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Sementara itu, Endra mengatakan masih rendahnya pasokan air untuk kebutuhan pertanian di dalam negeri disebabkan masih minimnya infrastruktur bendungan yang memasok air ke area persawahan.
Menurutnya, mayoritas bendungan lama yang telah dibangun tidak terintegrasi untuk kebutuh perairan sawah. Dari sekitar 7,3 juta sawah, kebutuhan irigasi yang dapat dilayani dari bendungan hanya berjumlah sekitar 11 persen.
Data tersebut, kata Endra, tercatat sebelum adanya pembangunan bendungan secara masif yang dikerjakan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi pada 2014.
“Bendungan ini bisa menjamin kontinuitas air dan menjamin produksi,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah mencapai keamanan pangan di Asia.
Dia mencontohkan, China memiliki jumlah bendungan hingga 5.000 bendungan, sedangkan Korea Selatan memiliki sekitar 3.000 bendungan.
“Sampai 2014 kita hanya punya 190 bendungan, sekarang kita punya 226, nanti diakhir [pemerintahan] ini bertambah 25 bendungan jadi 250,” imbuhnya.
Kendati demikian, infrastruktur bendungan perlu didukung dengan infrastruktur irigasi yang baik agar air dapat dialirkan secara efektif ke lahan pertanian.
Dia menyebut, dari sekitar 3 juta total lahan persawahan yang direhabilitasi Kementerian PUPR, sekitar 1,5 juta lahan tengah dibangun fasilitas irigasi.
“Dengan konfigurasi ini, ini akan menambah sawah yang diairi bendungan dari 11 persen jadi 20 persen, jadi nanti 20 persen dari 7,3 juta sawah akan dilayani bendungan dengan sendirinya produktivitas kita akan naik,” tambahnya.
Rapor Merah Food Estate
Program food estate yang dimulai pemerintah sejak 25 tahun silam masih dinilai belum berjalan optimal. Program itu bahkan disebut telah gagal total.
Pasalnya, program yang digadang-gadang sebagai lumbung pangan nasional tidak pernah benar-benar berhasil.
Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menilai meski ketahanan pangan Indonesia masih dalam status aman, tetapi hal besar yang perlu digaris bawahi adalah pasokan pangan yang masih diandalkan dari impor.
Menurutnya, status keamanan pangan suatu negara tidak secara spesifik ditentukan sumber pangan tersebut didapatkan, apakah dari produksi dalam negeri atau dipenuhi dari impor.
Menurutnya, impor pangan Indonesia memiliki tren yang meningkat dalam hampir 1 dekade terakhir. Dia menuturkan, nilai impor pangan Indonesia sejak periode 2013-2022 telah meningkat dari US$10 miliar menjadi US$18,6 miliar.
“Ketahanan kita baik-baik berbasis impor,” ujarnya, Jumat (14/7/2023).
Sementara itu, upaya pemerintah untuk menciptakan mandiri pangan masih terlihat sangat jauh.
Program food estate yang telah dijalankan sejak 25 tahun silam dinilai masih gagal dilaksanakan dengan baik. Hal itu disebabkan belum terpenuhinya 4 pilar utama.
Dia memaparkan, pilar tersebut adalah terkait dengan kelayakan tanah yang menyangkut kecocokan jenis pangan ditanam, kelayakan infrastruktur seperti jaringan irigasi dan jaringan usaha tani, aspek budidaya dan teknologi, serta aspek sosial ekonomi yang terkait dengan ketersediaan petani di tengah pembukaan lahan besar-besaran.
“Itu yang menyebabkan semua program food estate sejak 25 tahun gagal,” jelasnya.
Sementara itu, pembangunan bendungan yang dilakukan pemerintah juga dinilai masih belum berhasil meningkatkan produksi pertanian.
Dwi berpendapat, rata-rata produksi padi yang dihasilkan pemerintah cenderung mengalami penurunan. Tren produksi padi mengalami penurunan sekitar 0,23 persen per tahunnya sejak periode 2015-2022.
“Dari situ silakan menilai. Dari data itu kita bisa menilai dari pembangunan bendungan sudah efektif atau belum, kalau sudah efektif maka logika masyarakat awam terjadi peningkatan produksi,” tuturnya. (tw)